Otonomi Khusus (OTSUS) adalah pola relasi antara
pemerintah pusat dan daerah karena sebab-sebab khusus. Sebuah daerah menerima
wewenang, lembaga dan keuangan yang berbeda dengan daerah lain. Pola relasi ini
juga dikenal dengan Desentralisasi asimetres yang lazim terjadi di negara
kesatuan sejak 1950 sejak mengatur Jogjakarta.
Pola otonomi khusus sudah dikenal sejak
awal Reformasi melalui Tap MPR IV/1999 yang kemudian diwujudkan dalam UU 18/2001. Namun sangat disayangkan otsus yang sempat
diberikan tersebut terhambat sebab masih tingginya konflik bersenjata dan belum
tuntasnya masalah identitas di Aceh.
Setelah kesepahaman antara GAM dan RI yang dikenal dengan
MoU Helsinky berlangsung, Titik ideal Otsus Aceh kembali dirumuskan melalui UU
No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Pada tahun 2008 otsus aceh baru dapat
direalisasikan dengan suntikan dana khusus yang diberikan pemerintah pusat
kepada pemerintah Aceh sebesar 650 Triliun yang akan digunakan hingga tahun
2027. Akankah dana sebesar itu dapat segera memulihkan kondisi masyarakat yang
menderita akibat konflik yang berkepanjangan. Tentu menjadi Pekerjaan rumah
seluruh elemen sipil dalam menjawab besarnya tantangan Pemerintah dalam
mengelola anggaran agar tepat guna.
Keraguannya dikarenakan daerah yang sedang menyandang daerah kedua terkorup di
Indonesia. Maka sudah sepantasnya terbentuk tim khusus yang terus memantau
pencapaian target terhadap program dan anggaran yang sesuai dengan apa
dicita-citakan masyararakat aceh seluruhnya.
Berdasarkan
UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Dana Otsus merupakan penerimaan
Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan
dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan
kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Namun, apakah
sektor pendidikan mampu turut serta dalam membangun Aceh dengan dana 30% dari
pendapatan daerah?
Awalnya DPRA sepakat, pengelolaan dana otsus 60 persen
dikelola oleh kabupaten/kota dan lebihnya 40 persen dikelola oleh provinsi. Namun
pada bulan 12 tahun 2012 DPRA kembali mengubah pengelolaan dana otsus 40 persen
untuk kabupaten/kota dan 60 persen untuk provinsi. Hal ini tentu tidak bisa
diterima oleh pemerintah kabupaten//kota karena hanya diputuskan sepihak dan
tidak akan mencapai target yang diinginkan. Karena berhasil tidaknya realisasi
dana otsus tergantung bagaimana program-program yang menggonjot penentasan
kemiskinan, beasiswa dan pengobatan gratis atau kesehatan masyarakat dapat
terjawab dengan baik.
Dana otsus yang telah diberikan
kepada Aceh dalam empat tahun terakhir untuk beberapa hal telah digunakan
meningkatkan kesejahteraan. Setiap tahun pemerintah Aceh menganggarkan sekitar
Rp 400 miliar untuk menjamin seluruh penduduk Aceh memiliki KTP dan KK Aceh
dalam skema asuransi. Ini langkah maju dalam sistem kesehatan nasional yang
selama ini didasarkan pada pola residu dan bukan universal.
Dana otsus juga telah membantu
ribuan anak korban konflik dan pelajar Aceh mengenyam pendidikan gratis melalui
skema beasiswa di dalam dan luar negeri. Meski demikian, pengelolaan dana otsus
Aceh masih dibarengi dengan lemahnya kapasitas ”memerintah” pemerintah Aceh.
Ini terlihat dari tingginya anggaran yang tak dipakai: sekitar Rp 1 triliun per
tahun akibat buruknya relasi provinsi-kabupaten/ kota dalam pengelolaan dana
otsus.
Dari sisi wewenang, pemerintah
pusat lalai memberi PP yang menjadi turunan UUPA, terutama terkait pengelolaan
sumber daya. Rakyat Aceh menunggu PP tentang Badan Pertanahan Nasional Aceh
yang menjadi bagian dari Pemerintah Aceh yang berbeda dengan provinsi lain. PP
yang seharusnya diterbitkan pada 2008 sampai sekarang belum ada drafnya. Isu
lain yang ditunggu terkait dengan migas dan kehutanan. Muncul kesan kuat, otsus
yang dijanjikan mirip dengan kepala dilepas, ekor tetap dipegang. Terganggulah
upaya percepatan kesejahteraan.
Dari sisi kelembagaan,
pembentukan yang memfasilitasi hidupnya kembali lembaga adat dan lembaga
syariah telah meredam cukup signifikan masalah di tingkat rakyat. Lembaga adat
mulai dari tingkat gampong sampai provinsi, meski tak memiliki hak veto dalam
politik lokal, telah mampu jadi penasihat penting dalam pembangunan
berkesejahteraan. Salah satu ganjalan hanyalah posisi Wali Nanggroe yang
merupakan lembaga yang muncul pada saat konflik.
Di tengah kekurangan itu, secara
umum otsus Aceh telah mengarah kepada penciptaan kesejahteraan. Dengan
mekanisme pengawasan yang lebih tertata dan keseriusan mengelola asimetrisme
lewat regulasi yang lebih teknis, Aceh tak butuh waktu lama bersaing dengan
provinsi lain di Indonesia.
m
*Disusun sebagai acuan dasar Kegiatan SEMINAR OTSUS dan MASA DEPAN ACEH dalam Pembukaan Intermediate Training (LK II) HMI Cabang Lhokseumawe.
0 komentar :
Posting Komentar