Kamis, 08 Agustus 2013



Otonomi Khusus (OTSUS) adalah pola relasi antara pemerintah pusat dan daerah karena sebab-sebab khusus. Sebuah daerah menerima wewenang, lembaga dan keuangan yang berbeda dengan daerah lain. Pola relasi ini juga dikenal dengan Desentralisasi asimetres yang lazim terjadi di negara kesatuan sejak 1950 sejak mengatur Jogjakarta.

Pola otonomi khusus sudah dikenal sejak awal Reformasi melalui Tap MPR IV/1999 yang kemudian diwujudkan dalam UU 18/2001. Namun sangat disayangkan otsus yang sempat diberikan tersebut terhambat sebab masih tingginya konflik bersenjata dan belum tuntasnya masalah identitas di Aceh.

Setelah kesepahaman antara GAM dan RI yang dikenal dengan MoU Helsinky berlangsung, Titik ideal Otsus Aceh kembali dirumuskan melalui UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Pada tahun 2008 otsus aceh baru dapat direalisasikan dengan suntikan dana khusus yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah Aceh sebesar 650 Triliun yang akan digunakan hingga tahun 2027. Akankah dana sebesar itu dapat segera memulihkan kondisi masyarakat yang menderita akibat konflik yang berkepanjangan. Tentu menjadi Pekerjaan rumah seluruh elemen sipil dalam menjawab besarnya tantangan Pemerintah dalam mengelola anggaran  agar tepat guna. Keraguannya dikarenakan daerah yang sedang menyandang daerah kedua terkorup di Indonesia. Maka sudah sepantasnya terbentuk tim khusus yang terus memantau pencapaian target terhadap program dan anggaran yang sesuai dengan apa dicita-citakan masyararakat aceh seluruhnya.

Berdasarkan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Dana Otsus merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Namun, apakah sektor pendidikan mampu turut serta dalam membangun Aceh dengan dana 30% dari pendapatan daerah?

Awalnya DPRA sepakat, pengelolaan dana otsus 60 persen dikelola oleh kabupaten/kota dan lebihnya 40 persen dikelola oleh provinsi. Namun pada bulan 12 tahun 2012 DPRA kembali mengubah pengelolaan dana otsus 40 persen untuk kabupaten/kota dan 60 persen untuk provinsi. Hal ini tentu tidak bisa diterima oleh pemerintah kabupaten//kota karena hanya diputuskan sepihak dan tidak akan mencapai target yang diinginkan. Karena berhasil tidaknya realisasi dana otsus tergantung bagaimana program-program yang menggonjot penentasan kemiskinan, beasiswa dan pengobatan gratis atau kesehatan masyarakat dapat terjawab dengan baik.
Dana otsus yang telah diberikan kepada Aceh dalam empat tahun terakhir untuk beberapa hal telah digunakan meningkatkan kesejahteraan. Setiap tahun pemerintah Aceh menganggarkan sekitar Rp 400 miliar untuk menjamin seluruh penduduk Aceh memiliki KTP dan KK Aceh dalam skema asuransi. Ini langkah maju dalam sistem kesehatan nasional yang selama ini didasarkan pada pola residu dan bukan universal.
Dana otsus juga telah membantu ribuan anak korban konflik dan pelajar Aceh mengenyam pendidikan gratis melalui skema beasiswa di dalam dan luar negeri. Meski demikian, pengelolaan dana otsus Aceh masih dibarengi dengan lemahnya kapasitas ”memerintah” pemerintah Aceh. Ini terlihat dari tingginya anggaran yang tak dipakai: sekitar Rp 1 triliun per tahun akibat buruknya relasi provinsi-kabupaten/ kota dalam pengelolaan dana otsus.
Dari sisi wewenang, pemerintah pusat lalai memberi PP yang menjadi turunan UUPA, terutama terkait pengelolaan sumber daya. Rakyat Aceh menunggu PP tentang Badan Pertanahan Nasional Aceh yang menjadi bagian dari Pemerintah Aceh yang berbeda dengan provinsi lain. PP yang seharusnya diterbitkan pada 2008 sampai sekarang belum ada drafnya. Isu lain yang ditunggu terkait dengan migas dan kehutanan. Muncul kesan kuat, otsus yang dijanjikan mirip dengan kepala dilepas, ekor tetap dipegang. Terganggulah upaya percepatan kesejahteraan.
Dari sisi kelembagaan, pembentukan yang memfasilitasi hidupnya kembali lembaga adat dan lembaga syariah telah meredam cukup signifikan masalah di tingkat rakyat. Lembaga adat mulai dari tingkat gampong sampai provinsi, meski tak memiliki hak veto dalam politik lokal, telah mampu jadi penasihat penting dalam pembangunan berkesejahteraan. Salah satu ganjalan hanyalah posisi Wali Nanggroe yang merupakan lembaga yang muncul pada saat konflik.
Di tengah kekurangan itu, secara umum otsus Aceh telah mengarah kepada penciptaan kesejahteraan. Dengan mekanisme pengawasan yang lebih tertata dan keseriusan mengelola asimetrisme lewat regulasi yang lebih teknis, Aceh tak butuh waktu lama bersaing dengan provinsi lain di Indonesia. 
m

*Disusun sebagai acuan dasar Kegiatan SEMINAR OTSUS dan MASA DEPAN ACEH dalam Pembukaan Intermediate Training (LK II) HMI Cabang Lhokseumawe.

0 komentar :

Posting Komentar