Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 Agustus 2013



Otonomi Khusus (OTSUS) adalah pola relasi antara pemerintah pusat dan daerah karena sebab-sebab khusus. Sebuah daerah menerima wewenang, lembaga dan keuangan yang berbeda dengan daerah lain. Pola relasi ini juga dikenal dengan Desentralisasi asimetres yang lazim terjadi di negara kesatuan sejak 1950 sejak mengatur Jogjakarta.

Pola otonomi khusus sudah dikenal sejak awal Reformasi melalui Tap MPR IV/1999 yang kemudian diwujudkan dalam UU 18/2001. Namun sangat disayangkan otsus yang sempat diberikan tersebut terhambat sebab masih tingginya konflik bersenjata dan belum tuntasnya masalah identitas di Aceh.

Setelah kesepahaman antara GAM dan RI yang dikenal dengan MoU Helsinky berlangsung, Titik ideal Otsus Aceh kembali dirumuskan melalui UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Pada tahun 2008 otsus aceh baru dapat direalisasikan dengan suntikan dana khusus yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah Aceh sebesar 650 Triliun yang akan digunakan hingga tahun 2027. Akankah dana sebesar itu dapat segera memulihkan kondisi masyarakat yang menderita akibat konflik yang berkepanjangan. Tentu menjadi Pekerjaan rumah seluruh elemen sipil dalam menjawab besarnya tantangan Pemerintah dalam mengelola anggaran  agar tepat guna. Keraguannya dikarenakan daerah yang sedang menyandang daerah kedua terkorup di Indonesia. Maka sudah sepantasnya terbentuk tim khusus yang terus memantau pencapaian target terhadap program dan anggaran yang sesuai dengan apa dicita-citakan masyararakat aceh seluruhnya.

Berdasarkan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Dana Otsus merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Namun, apakah sektor pendidikan mampu turut serta dalam membangun Aceh dengan dana 30% dari pendapatan daerah?

Awalnya DPRA sepakat, pengelolaan dana otsus 60 persen dikelola oleh kabupaten/kota dan lebihnya 40 persen dikelola oleh provinsi. Namun pada bulan 12 tahun 2012 DPRA kembali mengubah pengelolaan dana otsus 40 persen untuk kabupaten/kota dan 60 persen untuk provinsi. Hal ini tentu tidak bisa diterima oleh pemerintah kabupaten//kota karena hanya diputuskan sepihak dan tidak akan mencapai target yang diinginkan. Karena berhasil tidaknya realisasi dana otsus tergantung bagaimana program-program yang menggonjot penentasan kemiskinan, beasiswa dan pengobatan gratis atau kesehatan masyarakat dapat terjawab dengan baik.
Dana otsus yang telah diberikan kepada Aceh dalam empat tahun terakhir untuk beberapa hal telah digunakan meningkatkan kesejahteraan. Setiap tahun pemerintah Aceh menganggarkan sekitar Rp 400 miliar untuk menjamin seluruh penduduk Aceh memiliki KTP dan KK Aceh dalam skema asuransi. Ini langkah maju dalam sistem kesehatan nasional yang selama ini didasarkan pada pola residu dan bukan universal.
Dana otsus juga telah membantu ribuan anak korban konflik dan pelajar Aceh mengenyam pendidikan gratis melalui skema beasiswa di dalam dan luar negeri. Meski demikian, pengelolaan dana otsus Aceh masih dibarengi dengan lemahnya kapasitas ”memerintah” pemerintah Aceh. Ini terlihat dari tingginya anggaran yang tak dipakai: sekitar Rp 1 triliun per tahun akibat buruknya relasi provinsi-kabupaten/ kota dalam pengelolaan dana otsus.
Dari sisi wewenang, pemerintah pusat lalai memberi PP yang menjadi turunan UUPA, terutama terkait pengelolaan sumber daya. Rakyat Aceh menunggu PP tentang Badan Pertanahan Nasional Aceh yang menjadi bagian dari Pemerintah Aceh yang berbeda dengan provinsi lain. PP yang seharusnya diterbitkan pada 2008 sampai sekarang belum ada drafnya. Isu lain yang ditunggu terkait dengan migas dan kehutanan. Muncul kesan kuat, otsus yang dijanjikan mirip dengan kepala dilepas, ekor tetap dipegang. Terganggulah upaya percepatan kesejahteraan.
Dari sisi kelembagaan, pembentukan yang memfasilitasi hidupnya kembali lembaga adat dan lembaga syariah telah meredam cukup signifikan masalah di tingkat rakyat. Lembaga adat mulai dari tingkat gampong sampai provinsi, meski tak memiliki hak veto dalam politik lokal, telah mampu jadi penasihat penting dalam pembangunan berkesejahteraan. Salah satu ganjalan hanyalah posisi Wali Nanggroe yang merupakan lembaga yang muncul pada saat konflik.
Di tengah kekurangan itu, secara umum otsus Aceh telah mengarah kepada penciptaan kesejahteraan. Dengan mekanisme pengawasan yang lebih tertata dan keseriusan mengelola asimetrisme lewat regulasi yang lebih teknis, Aceh tak butuh waktu lama bersaing dengan provinsi lain di Indonesia. 
m

*Disusun sebagai acuan dasar Kegiatan SEMINAR OTSUS dan MASA DEPAN ACEH dalam Pembukaan Intermediate Training (LK II) HMI Cabang Lhokseumawe.

Rabu, 07 Agustus 2013




Oleh : Ade Akhmad Ilyasa' dan Muhammad Nasrullah 

Sebagaimana Provinsi lain di Indonesia, pemerintah Aceh tampaknya harus terus bergulat untuk memperbaiki pengelolaan sumberdaya hutan yang kemampuannya terus menurun. Terlepas dari upaya-upaya yang telah dan akan dilakukan, Aceh masih menghadapi masalah-masalah nyata menyangkut ekosistem hutan primer dan sekunder yang berada di bawah ancaman luar biasa baik oleh industri-industri besar, para pengusaha kayu, para mafia dan oknum pembalakan kayu maupun berbagai ulah sebagian kecil masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan.
Secara ekologis, hutan Aceh mempunyai keanekaragaman ekosistem yang sangat kaya dengan berbagai keanekaragaman hayati yang yang dapat ditemui di Taman Nasional Gunung Leuser. Dengan kondisi ini Taman Nasional Gunung Leuser ditetapkan oleh UNESCO sebagai World Heritage. Selain Gunung Leuser, semua kawasan lindung di Aceh dan hutan Aceh pada umumnya menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat kaya, baik tumbuhan maupun hewan. Di samping itu, hutan Aceh khususnya kawasan ekosistem Leuser diyakini menjadi areal penyerapan debu dan karbon yang cukup besar sehingga keberadaannya sangat berkontribusi dalam mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim. (Saodah Lubis, 2006).
Implikasi penting bagi pelestarian hutan Aceh saat ini adalah pergeseran alasan pengundulan hutan akibat alasan kemiskinan ke alasan perusahaan. Modus dari perusakan hutan di era ini akan berubah. Orang-orang miskin di desa tidak lagi dominan sebagai pelaku perusakan hutan, pengundulan hutan secara substansial digerakkan oleh industri-industri besar dan globalisasi ekonomi, melalui penambangan timah hitam, bijih besi, emas, kapur dan bahan baku semen, dan eksploitasi mencari material-material bernilai tinggi lainnya yang menjadi sebab-sebab mengerikan dari hancurnya hutan Aceh. (Afrizal Akmal, 2009).
Laporan terakhir yang disampaikan oleh Yayasan Leuser Internasional menyebutkan bahwa hasil perhitungan dan kajian berdasarkan analisis Sistem Informasi Geografis Citra Landsat ETM+ tahun 2006-2009 menunjukkan bahwa kerusakan hutan Aceh mencapai sekitar 92.600 ha, di mana 34 persennya atau 31.280 berada pada kawasan hutan lindung, meskipun kemudian dibantah bahwa kerusakan bukan berada pada kawasan hutan lindung, melainkan pada kawasan hutan dengan alasan yang tidak begitu jelas (Serambi Indonesia, 18/02/2011 dan 19/02/2011).
Jika ditarik lebih jauh, kebijakan moratorium logging diambil karena hutan Aceh berada pada posisi yang cukup memprihatinkan, setiap harinya kita kehilangan hutan dua kali lipat luas lapangan sepakbola atau setara 20.796 per tahunnya, laju kerusakan ini salah satunya dipicu oleh aktivitas illegal logging yang terus terjadi, tahun 2006 tertangkap 120.209,50 meter kubik kayu sitaan dari hasil illegal logging, angka ini mengalami kenaikan empat kali lipat dari tahun sebelumnya sekitar 33.249,25 meter kubik. Padahal angka kayu sitaan tersebut jika ditaksir hanya sekitar 2% dari total tebangan ilegal yang terjadi di hutan Aceh. Kerusakan hutan akan menimbulkan multiplier effect, salah satunya adalah bencana banjir dan tanah longsor, lihat saja angka statistik kerugian akibat banjir dan longsor. Jumlah kejadian atau intensitas banjir juga mengalami kenaikan dari tahun 2005, yaitu dari 30 kejadian menjadi 39 kejadian pada tahun 2006, atau rata-rata tiap bulannya terjadi 3-4 kali bencana banjir dan longsor.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, dampak kerugian banjir dan longsor cukup menguras Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Aceh (APBA), banjir pada tahun 1996 menimbulkan kerugian Rp 174 miliar, tahun 2000 kerugian akibat banjir menembus angka Rp 800 miliar, dan tahun 2006 banjir tamiang menyebabkan kerugian Rp 2 triliun, jika dibandingkan dengan pendapatan akumulasi dari sektor kehutanan terhadap PDRB Aceh selama tahun 1993-2001 hanya sekitar Rp 362 milyar atau rata-rata sekitar Rp 45 miliar per tahun. Anggaran APBA tahun 2007 sebesar kurang lebih Rp 19 triliun, termasuk anggaran rekonstruksi Rp 9,7 triliun, maka anggaran bersih yang diterima Pemerintah Aceh kurang lebih Rp 10 triliun, jika kemudian harus menutupi tekor banjir tamiang Rp 2 triliun, artinya 20% anggaran Aceh tahun 2007 praktis hanya digunakan untuk recovery banjir dan longsor.
Berbagai organisasi melaporkan kejadian penebangan liar, tetapi sebagian besar dari mereka tidak punya kemampuan untuk mengambil tindakan nyata. Berbagai workshop telah diadakan oleh berbagai lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat lokal maupun lembaga-lembaga pemerintah untuk membahas isu ini dan menyusun paper rencana tindakan serta usulan kebijakan. Kondisi lingkungan hidup sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan dengan kecenderungan yang terus menurun, ini merupakan tantangan serius yang sedang dihadapi dunia.
Penyebab utamanya adalah, karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan. Hal ini terjadi mengingat kelemahan kekuatan politik dari pihak-pihak yang menyadari pentingnya pengelolaan lingkungan hidup. Perjuangan untuk melestarikan lingkungan pun hanya didukung sekelompok kecil kelas menengah yang kurang mempunyai kekuatan politik dalam pengambilan keputusan. Seperti kelompok-kelompok peduli lingkungan, organisasi non-pemerintah, individu yang aktif dalam pelestarian lingkungan dan kritis terhadap kebijakan- kebijakan yang merugikan lingkungan, serta kalangan akademisi.
Semestinya, pelestarian lingkungan perlu mendapat dukungan dari kekuatan-kekuatan politik primer. Pemerintah perlu memiliki kemampuan ketataprajaan di bidang lingkungan hidup (good environmental governance), agar mampu menjawab tantangan dari masyarakat yang sudah diberdayakan. Kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan lingkungan hidup telah digulirkan, misalnya program untuk mitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan melalui skema Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan (REDD). Ini pun masih harus ditelaah kembali, apakah mampu memberikan dampak positif bagi masyakat dan lingkungan itu sendiri. Untuk itu pemerintah Aceh perlu segera mengevaluasi serta merumuskan ulang berbagai strategi dan kebijakan terkait perlindungan dan penyelamatan hutan Aceh, sehingga benar-benar dapat dimplementasikan secara baik dan nyata. Semoga cita-cita pemerintah Aceh dan kita semua untuk mewujudkan hutan lestari yang menyejahterakan masyarakat bukan hanya sekadar bualan dan mimpi indah bagai lantunan puisi indah tanpa makna, hilang tak berbekas di telan wacana hiruk pikuk PILKADASUNG yang penuh tolak tarik kepentingan politik kekuasaan belaka.

Senin, 05 Agustus 2013

Oleh : Muhammad Nasrullah




SEBAGIAN besar calon kepala daerah yang menjadi kandidat Pilkada Aceh 2012 ini; calon gubernur/wakil gubernur, calon bupati/wakil bupati, dan calon wali kota/wakil wali kota, maju dari melalui jalur independen (perseorangan). Hanya sebagian kecil saja calon yang maju dengan kendaraan partai politik lokal dan nasional yang memenuhi syarat electoral treshold.

Banyaknya kandidat yang ikut bertanding dalam Pilkada Aceh kali ini antara lain disebabkan: Pertama, terbukanya ruang bagi jalur independen (perseorangan) untuk menjadi peserta pilkada, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota seperti diatur dalam Pasal 256 UUPA; Kedua, partai politik dianggap tidak mampu menjalankan dan mengakomodir aspirasi rakyat, dan; Ketiga, tidak terakomodirnya ‘syahwat’ politik kader untuk menjadi pemimpin di tubuh partai hingga mengambil sikap keluar dari partai dan maju melalui jalur independen.

Barangkali itulah beberapa analisa penulis tentang menjamurnya kandidat-kandiat yang ikut bertarung di kancah politik untuk merebut kursi pemerintah daerah di Aceh dalam pemilukada kali ini. Namun yang perlu dipertanyakan apakah semua kandidat yang ikut bersaing dalam pemilukada sudah tentu memiliki kapasitas yang teruji? Dan apakah mereka juga betul memahami kondisi daerah yang saat ini baru melalui 6 tahun perdamaian.

 Tidak menjalankan amanah
Melihat realitas dan sepak terjang pemimpin hasil Pilkada Aceh 2006 lalu, di sejumlah daerah masyarakat menjadi trauma. Sejumlah kandidat yang dipilih dinilai tidak menjalankan amanah rakyat dengan baik dan benar, malah mengenyampingkannya. Seperti semboyan yang sering kita dengar “Munyo koen ie mandum leuhob, munye koen droe teuh mandum gop”. Tentu masing-masing orang berbeda menafsirkanya. Begitu juga penulis, melihat semboyan itu berlaku hanya untuk orang yang telah mendukungnya pada saat kampanye dulu, sedangkan yang tidak mendukung dan memilih malah terabaikan.

Jika seandainya saja tidak ada sekat pembeda antara pendukung atau bukan, barangkali Aceh ini telah makmur dan dapat mencicipi hasil Aceh bersama-sama. Lihat saja ada berapa perusahaan besar yang ada di Aceh seperti PT Arun NGL, PIM, KKA, Exxon mobil, dan beberapa perusaahaan tambang lainya yang bisa menghidupkan masyarakat Aceh. Demikian pula Aceh dikenal sebagai sekeping tanah ‘surga’ yang subur, yang hidup berbagai tanaman dan tetumbuhan. Tapi mengapa rakyat Aceh masih juga belum makmur dan sejahtera?

Apa yang salah dengan pemimpin Aceh? Setiap kali pergantian pemimpin tapi masih saja belum memberikan dampak perubahan apapun terhadap kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Kehadiran mereka malah memperburuk keadaan dan perkembangan daerah seperti yang pernah dirasakan penduduk di Aceh Utara. Dulunya daerah yang dikenal kekayaannya menjadi daerah termiskin dan daerah terburuk dalam manajemennya menurut Badan Statistik Aceh tahun 2010.

Dari sisi penggunaan anggaran APBK dan APBD yang disahkan tiap tahunnya, 50% dimanfaatkan untuk kebutuhan operasional kantor dan gaji pegawai. Sedangkan setengahnya baru dimanfaatkan untuk pembangunan infrastrukur masyarakat. Jika penggunaan anggaran tidak diperioritaskan untuk pembangunan ekonomi masyarakat bagaimana daerah yang Aceh akan dapat menekan angka kemiskinan?

 Fenomena Aceh Utara
Faktanya di saat keadaan Aceh Utara “papa” seperti ini, pemerintah masih saja memperioritaskan penggunaaan anggaran untuk membeli 32 Unit Mobil senilai 8,3 M. Sungguh hal ini tidak manusiawi, pasalnya dengan fasilitas yang dulu masih layak untuk digunakan, pemerintah masih ingin bermewah-mewah atas penderitaan masyarakat banyak. Harusnya dengan dana sebesar itu, sudah berapa irigasi dan gedung sekolah yang dapat diperbaiki. Harusnya pemerintah menggunakan aggaran untuk pertumbuhan ekonomi dan untuk mencerdaskan generasi muda dulu, bukan malah bermewah-mewah atas air mata rakyat.

Ironisnya walaupun setelah pergantian Pj Bupati Aceh Utara, keadaan daerah tidak ada ubahnya seperti pemimpin terdahulu. DPRK Aceh Utara pun ikut menindas masyarakat dengan mengesahkan anggaran pembelian mobil tersebut. Yang menjadi pertanyaan, di manakah moral pemimpin kita untuk memperbaiki kembali situasi karut-marut kondisi rakyat di Aceh Utara?

Cukuplah pengalaman keserakahan dan “kebodohan” pemimpin yang mengajarkan kita, barangkali apa yang pernah terjadi di Aceh Utara khususnya dan Aceh umumnya, dapat menjadi obat agar berhati-hati dalam memilih kepala daerah ke depan. Saya yakin semua kita menginginkan pemilukada ini menjadi awal pencerdasan masyarakat dalam memilih pemimpinnya. Agar nantinya pemimpin yang terpilih benar-benar berkualitas sesuai dengan keinginan masyarakat Aceh.

Siapa pun yang terpilih nantinya UUPA harus menjadi perioritas utama dalam melahirkan qanun-qanun dan kebijakan. Hal ini dipandang perlu untuk menjaga keberlangsungan perdamaian yang telah lama dibina. Tentu akan menjadi persoalan besar jika nilai-nilai ini terabaikan dan dikhawatirkan akan tercipta benih-benih permusuhan yang baru antar saudara.

Oleh karenanya, yang terpenting siapapun yang nanti diutus menjadi pemegang mandat Pj. Bupati/walikota yang sebentar lagi akan diutus harus berkomitmen menjaga dan mengakomodir segala kebutuhan yang diinginkan masyarakat Aceh bukan malah kepentingan elit politik yang sedang bersaing saat ini.

 Tugas besar

Ada beberapa mandat yang menjadi tugas besar bagi siapa pun yang nantinya akan terpilih, harus menjadi kepala daerah masyarakat Aceh bukan kepala kelompok pemenangan pemilunya. Mereka yang menjadi pemimpin daerah harus mampu menjaga dan mempertahankan perdamaian Aceh, mampu merumuskan qanun-qanun yang menjadi perioritas dalam rangka mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia, serta mampu menekan angka kemiskinan dan pengangguran dengan membuka lapangan kerja baru seperti yang telah diamanatkan dalam UUPA.

Selain itu reformasi birokrasi yang seringkali memperlambat laju pertumbuhan ekonomi perlu untuk diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, memperjelas dana bagi hasil pengelolaan migas sebagaimana telah disepakati dalam UUPA, 70% untuk daerah dan 30% untuk nasional. Pasalnya persoalan bagi hasil jangankan masyarakat Aceh, gubernur saja tidak mengetahui berapa keuntungan tiap tahunnya perusahaan raksasa di Aceh.

Dapatkah gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota dapat menjalankan amanah ini? Namun, yang tak kalah penting siapkah kita membantu dan mendukung siapa pun yang nantinya terpilih menjadi kepala daerah yang sangat kita cintai ini?

* Muhammad Nasrullah, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Lhokseumawe/Alumnus Sekolah Demokrasi Aceh Utara.

Pernah dimuat di Serambi Indonesia tanggal 7 April 2012
Oleh : Muhammad Nasrullah



PERGURUAN tinggi mencetak sarjana hingga ribuan lulusan setiap tahunnya di Aceh, sementara lapangan pekerjaan tidak mampu menampung seluruh lulusan sarjana, dan akhirnya mau tidak mau sebagian mereka menganggur. Itulah realitas yang terjadi saat ini.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional tahun 2011, dari total 2.069.000 jiwa total penduduk Aceh yang umur wajib kerja, 171.000 jiwa atau 8,27 persen di antaranya tercatat sebagai pengangguran. Hal ini mempengaruhi angka kemiskinan Aceh hingga menempatkan Aceh sebagai Provinsi termiskin ke tujuh dalam skala nasional dengan prosentase 20,98 persen dari total 4.486.570 jiwa penduduknya.

Dengan jumlah sarjana penganggur yang sangat fantastis tentu akan menimbulkan pertanyaan, ke mana saja wakil kita di DPRA/DPRK selama ini? Apakah benar seperti yang pernah dikatakan Iwan Fals dalam lagunya bahwa kehadiran mereka hanya untuk menyanyikan lagu “setuju” dalam setiap membuat kebijakan? Hingga sarjana penganggur kian tahun kian bertambah tanpa ada solusi!

Bertambahnya pengangguran tiap tahunnya baik dari lulusan diploma maupun sarjana secara tidak langsung akan memperlambat kemajuan daerah. Bahkan hal ini dapat memicu tumbuhnya berbagai tindak kriminalitas dan dapat mengancam timbulnya konflik yang baru karena kebutuhan masyarakat kecil kian hari tidak terpenuhi.

Lulusan sarjana baru dari berbagai perguruan tinggi di Aceh harusnya dapat memberikan pencerahan masyarakat yang barangkali selama ini “gelap” hingga dapat memicu tindak kriminal di daerah yang konon memiliki sumber daya yang berlimpah. Ironisnya bagaimana mereka mampu memberikan pencerahan, toh mereka saja masih menganggur. Ada apa sebenarnya dengan Aceh? Mestinya dengan kehadiran sarjana dari berbagai perguruan tinggi di Aceh dapat dijadikan sebagai motivasi dan peluang bagi pemerintah untuk menciptakan inovasi baru sekaligus menuntaskan angka pengangguran dan kemiskinan.

 Potensi Alam
Selain migas dan barang tambang (emas, bijih besi), dan masih banyak potensi yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan langsung oleh masyarakat baik yang berasal dari darat maupun lautan. Adapun potensi yang berasal dari darat berupa; kopi, lada, karet, kelapa, kelapa sawit, cengkeh, coklat, sementara yang berasal dari lautan seperti ikan, rumput laut dan terumbu karang yang mungkin sudah sedikit berkurang karena global warming.

Ditambah lagi dengan berbagai objek wisata yang sering dikunjungi masyarakat sekitar membuat Aceh menarik perhatian wisata asing seperti; Sabang, Tapak Tuan, Laot tawa Takengon, Blang Kulam Aceh Utara, Kuala Beukah Idi, Ujong Blang Lhokseumawe. Kuala Langsa, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Jika dari wisata saja dikembangkan oleh pemerintah, penulis yakin selain memberikan masukan kepada PAD juga memberikan nilai tambah terhadap ekonomi masyarakat dan industri-industri kecil akan berkembang. Namun penulis melihat sedikit sekali ide kreatif yang muncul dari pemerintah untuk memberdayakan pengangguran yang ada dengan memanfaatkan potensi yang ada.

Banyak yang mengatakan Aceh adalah “sekeping tanah Surga” karena hasil alamnya yang berlimpah, tapi nyatanya masyarakat kita masih banyak melarat dan menderita bahkan lebih menderita lagi setelah peralihan kekuasaan kepada pemimpin baru pascapemilihan kepala daerah 2006-2011 yang tidak memberikan perubahan apa pun khususnya bagi Aceh Utara.

Faktanya tidak ada satu pun lapangan pekerjaaan yang didirikan di Aceh Utara yang mampu menampung banyak tenaga kerja. Bahkan dengan bobolnya kas Aceh Utara sebesar Rp 220 miliar semua sektor pembangunan macet dan terhenti, bahkan salah satu solusi yang pernah diambil oleh Bupati untuk menutupi biaya operasional dengan memotong tunjangan PNS, sungguh tidak manusiawi. Barangkali ini merupakan risiko yang harus kita terima akibat salah memilih pemimpin lima tahun yang lalu!

Padahal pascatsunami provinsi Aceh tergolong provinsi yang paling banyak menerima bantuan, baik berupa dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus (OtSus), dana bagi hasil migas, dana tambahan bagi hasil migas, dana rehab-rekon, bantuan luar negeri (multidonor fund), dan dana reintegrasi. Jika diakumulasikan total dana tersebut berjumlah lebih dari 10 triliun rupiah (Serambi, 08/11/2010).

 Mengatasi pengangguran
Mengatasi pengangguran memang bukan pekerjaan yang mudah. Buktinya sudah berapa puluh tahun kita merdeka dari penjajah namun dengan sumberdaya alam yang berlimpah kita masih saja belum mampu menyejahterakan masyarakat. Bahkan kita masih dijajah oleh pemimpin kita yang korup. Sehingga setiap kali pergantian pemimpin, nasib pengangguran dan masyarakat miskin masih saja tidak berubah.

Oleh karena itu perlu adanya kebijakan pemerintah yang mengacu kepada pertumbuhan ekonomi dengan menumbuhkan industri-industri baru yang memihak kepada kesejahteraan masyarakat banyak, bukan malah memperkaya pengusaha dan pejabat pemerintahannya saja.

Jika hal ini dilakukan dengan benar dan industri-industri sudah mulai dihidupkan sesuai dengan potensi alam yang dimiliki Aceh, hingga segala kebutuhan kita tidak lagi bergantung kepada Medan. Hal ini akan berjalan dengan baik jika pemimpin kita tidak lagi korup dan mengedepankan kepentingan dibandingkan dengan kepentingan masyarakat banyak maka tidak lebih dari lima tahun Insyaallah kita akan merdeka dari kemiskinan dan pengangguran secara outomatis akan terberdayakan dengan sumber daya alam yang berlimpah.

Barangkali ini akan menjadi cita-cita kita bersama yang nantinya akan menjadi pekerjaan rumah bagi siapa saja yang akan terpilih menjadi pemimpin Aceh periode 2012-2017 baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota se Aceh, khususnya Lhokseumawe dan Aceh Utara.

* Penulis adalah Ketua HMI Cabang Lhokseumawe Bidang Pemberdayaan Ummat. Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara.

Pernah dimuat di Serambi Indonesia tanggal 29 Oktober 2011