This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 08 Agustus 2013


Rabu, 07 Agustus 2013


Senin, 05 Agustus 2013


SEBAGIAN besar calon kepala daerah yang menjadi kandidat Pilkada Aceh 2012 ini; calon gubernur/wakil gubernur, calon bupati/wakil bupati, dan calon wali kota/wakil wali kota, maju dari melalui jalur independen (perseorangan). Hanya sebagian kecil saja calon yang maju dengan kendaraan partai politik lokal dan nasional yang memenuhi syarat electoral treshold.
Banyaknya kandidat yang ikut bertanding dalam Pilkada Aceh kali ini antara lain disebabkan: Pertama, terbukanya ruang bagi jalur independen (perseorangan) untuk menjadi peserta pilkada, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota seperti diatur dalam Pasal 256 UUPA; Kedua, partai politik dianggap tidak mampu menjalankan dan mengakomodir aspirasi rakyat, dan; Ketiga, tidak terakomodirnya ‘syahwat’ politik kader untuk menjadi pemimpin di tubuh partai hingga mengambil sikap keluar dari partai dan maju melalui jalur independen.
Barangkali itulah beberapa analisa penulis tentang menjamurnya kandidat-kandiat yang ikut bertarung di kancah politik untuk merebut kursi pemerintah daerah di Aceh dalam pemilukada kali ini. Namun yang perlu dipertanyakan apakah semua kandidat yang ikut bersaing dalam pemilukada sudah tentu memiliki kapasitas yang teruji? Dan apakah mereka juga betul memahami kondisi daerah yang saat ini baru melalui 6 tahun perdamaian.
Tidak menjalankan amanah
Melihat realitas dan sepak terjang pemimpin hasil Pilkada Aceh 2006 lalu, di sejumlah daerah masyarakat menjadi trauma. Sejumlah kandidat yang dipilih dinilai tidak menjalankan amanah rakyat dengan baik dan benar, malah mengenyampingkannya. Seperti semboyan yang sering kita dengar “Munyo koen ie mandum leuhob, munye koen droe teuh mandum gop”. Tentu masing-masing orang berbeda menafsirkanya. Begitu juga penulis, melihat semboyan itu berlaku hanya untuk orang yang telah mendukungnya pada saat kampanye dulu, sedangkan yang tidak mendukung dan memilih malah terabaikan.
Jika seandainya saja tidak ada sekat pembeda antara pendukung atau bukan, barangkali Aceh ini telah makmur dan dapat mencicipi hasil Aceh bersama-sama. Lihat saja ada berapa perusahaan besar yang ada di Aceh seperti PT Arun NGL, PIM, KKA, Exxon mobil, dan beberapa perusaahaan tambang lainya yang bisa menghidupkan masyarakat Aceh. Demikian pula Aceh dikenal sebagai sekeping tanah ‘surga’ yang subur, yang hidup berbagai tanaman dan tetumbuhan. Tapi mengapa rakyat Aceh masih juga belum makmur dan sejahtera?
Apa yang salah dengan pemimpin Aceh? Setiap kali pergantian pemimpin tapi masih saja belum memberikan dampak perubahan apapun terhadap kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Kehadiran mereka malah memperburuk keadaan dan perkembangan daerah seperti yang pernah dirasakan penduduk di Aceh Utara. Dulunya daerah yang dikenal kekayaannya menjadi daerah termiskin dan daerah terburuk dalam manajemennya menurut Badan Statistik Aceh tahun 2010.
Dari sisi penggunaan anggaran APBK dan APBD yang disahkan tiap tahunnya, 50% dimanfaatkan untuk kebutuhan operasional kantor dan gaji pegawai. Sedangkan setengahnya baru dimanfaatkan untuk pembangunan infrastrukur masyarakat. Jika penggunaan anggaran tidak diperioritaskan untuk pembangunan ekonomi masyarakat bagaimana daerah yang Aceh akan dapat menekan angka kemiskinan?
Fenomena Aceh Utara
Faktanya di saat keadaan Aceh Utara “papa” seperti ini, pemerintah masih saja memperioritaskan penggunaaan anggaran untuk membeli 32 Unit Mobil senilai 8,3 M. Sungguh hal ini tidak manusiawi, pasalnya dengan fasilitas yang dulu masih layak untuk digunakan, pemerintah masih ingin bermewah-mewah atas penderitaan masyarakat banyak. Harusnya dengan dana sebesar itu, sudah berapa irigasi dan gedung sekolah yang dapat diperbaiki. Harusnya pemerintah menggunakan aggaran untuk pertumbuhan ekonomi dan untuk mencerdaskan generasi muda dulu, bukan malah bermewah-mewah atas air mata rakyat.
Ironisnya walaupun setelah pergantian Pj Bupati Aceh Utara, keadaan daerah tidak ada ubahnya seperti pemimpin terdahulu. DPRK Aceh Utara pun ikut menindas masyarakat dengan mengesahkan anggaran pembelian mobil tersebut. Yang menjadi pertanyaan, di manakah moral pemimpin kita untuk memperbaiki kembali situasi karut-marut kondisi rakyat di Aceh Utara?
Cukuplah pengalaman keserakahan dan “kebodohan” pemimpin yang mengajarkan kita, barangkali apa yang pernah terjadi di Aceh Utara khususnya dan Aceh umumnya, dapat menjadi obat agar berhati-hati dalam memilih kepala daerah ke depan. Saya yakin semua kita menginginkan pemilukada ini menjadi awal pencerdasan masyarakat dalam memilih pemimpinnya. Agar nantinya pemimpin yang terpilih benar-benar berkualitas sesuai dengan keinginan masyarakat Aceh.
Siapa pun yang terpilih nantinya UUPA harus menjadi perioritas utama dalam melahirkan qanun-qanun dan kebijakan. Hal ini dipandang perlu untuk menjaga keberlangsungan perdamaian yang telah lama dibina. Tentu akan menjadi persoalan besar jika nilai-nilai ini terabaikan dan dikhawatirkan akan tercipta benih-benih permusuhan yang baru antar saudara.
Oleh karenanya, yang terpenting siapapun yang nanti diutus menjadi pemegang mandat Pj. Bupati/walikota yang sebentar lagi akan diutus harus berkomitmen menjaga dan mengakomodir segala kebutuhan yang diinginkan masyarakat Aceh bukan malah kepentingan elit politik yang sedang bersaing saat ini.
Tugas besar
Ada beberapa mandat yang menjadi tugas besar bagi siapa pun yang nantinya akan terpilih, harus menjadi kepala daerah masyarakat Aceh bukan kepala kelompok pemenangan pemilunya. Mereka yang menjadi pemimpin daerah harus mampu menjaga dan mempertahankan perdamaian Aceh, mampu merumuskan qanun-qanun yang menjadi perioritas dalam rangka mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia, serta mampu menekan angka kemiskinan dan pengangguran dengan membuka lapangan kerja baru seperti yang telah diamanatkan dalam UUPA.
Selain itu reformasi birokrasi yang seringkali memperlambat laju pertumbuhan ekonomi perlu untuk diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, memperjelas dana bagi hasil pengelolaan migas sebagaimana telah disepakati dalam UUPA, 70% untuk daerah dan 30% untuk nasional. Pasalnya persoalan bagi hasil jangankan masyarakat Aceh, gubernur saja tidak mengetahui berapa keuntungan tiap tahunnya perusahaan raksasa di Aceh.
Dapatkah gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota dapat menjalankan amanah ini? Namun, yang tak kalah penting siapkah kita membantu dan mendukung siapa pun yang nantinya terpilih menjadi kepala daerah yang sangat kita cintai ini?
* Muhammad Nasrullah, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Lhokseumawe/Alumnus Sekolah Demokrasi Aceh Utara.
Pernah dimuat di Serambi Indonesia tanggal 7 April 2012


PERGURUAN tinggi mencetak sarjana hingga ribuan lulusan setiap tahunnya di Aceh, sementara lapangan pekerjaan tidak mampu menampung seluruh lulusan sarjana, dan akhirnya mau tidak mau sebagian mereka menganggur. Itulah realitas yang terjadi saat ini.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional tahun 2011, dari total 2.069.000 jiwa total penduduk Aceh yang umur wajib kerja, 171.000 jiwa atau 8,27 persen di antaranya tercatat sebagai pengangguran. Hal ini mempengaruhi angka kemiskinan Aceh hingga menempatkan Aceh sebagai Provinsi termiskin ke tujuh dalam skala nasional dengan prosentase 20,98 persen dari total 4.486.570 jiwa penduduknya.
Dengan jumlah sarjana penganggur yang sangat fantastis tentu akan menimbulkan pertanyaan, ke mana saja wakil kita di DPRA/DPRK selama ini? Apakah benar seperti yang pernah dikatakan Iwan Fals dalam lagunya bahwa kehadiran mereka hanya untuk menyanyikan lagu “setuju” dalam setiap membuat kebijakan? Hingga sarjana penganggur kian tahun kian bertambah tanpa ada solusi!
Bertambahnya pengangguran tiap tahunnya baik dari lulusan diploma maupun sarjana secara tidak langsung akan memperlambat kemajuan daerah. Bahkan hal ini dapat memicu tumbuhnya berbagai tindak kriminalitas dan dapat mengancam timbulnya konflik yang baru karena kebutuhan masyarakat kecil kian hari tidak terpenuhi.
Lulusan sarjana baru dari berbagai perguruan tinggi di Aceh harusnya dapat memberikan pencerahan masyarakat yang barangkali selama ini “gelap” hingga dapat memicu tindak kriminal di daerah yang konon memiliki sumber daya yang berlimpah. Ironisnya bagaimana mereka mampu memberikan pencerahan, toh mereka saja masih menganggur. Ada apa sebenarnya dengan Aceh? Mestinya dengan kehadiran sarjana dari berbagai perguruan tinggi di Aceh dapat dijadikan sebagai motivasi dan peluang bagi pemerintah untuk menciptakan inovasi baru sekaligus menuntaskan angka pengangguran dan kemiskinan.
Potensi Alam
Selain migas dan barang tambang (emas, bijih besi), dan masih banyak potensi yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan langsung oleh masyarakat baik yang berasal dari darat maupun lautan. Adapun potensi yang berasal dari darat berupa; kopi, lada, karet, kelapa, kelapa sawit, cengkeh, coklat, sementara yang berasal dari lautan seperti ikan, rumput laut dan terumbu karang yang mungkin sudah sedikit berkurang karena global warming.
Ditambah lagi dengan berbagai objek wisata yang sering dikunjungi masyarakat sekitar membuat Aceh menarik perhatian wisata asing seperti; Sabang, Tapak Tuan, Laot tawa Takengon, Blang Kulam Aceh Utara, Kuala Beukah Idi, Ujong Blang Lhokseumawe. Kuala Langsa, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Jika dari wisata saja dikembangkan oleh pemerintah, penulis yakin selain memberikan masukan kepada PAD juga memberikan nilai tambah terhadap ekonomi masyarakat dan industri-industri kecil akan berkembang. Namun penulis melihat sedikit sekali ide kreatif yang muncul dari pemerintah untuk memberdayakan pengangguran yang ada dengan memanfaatkan potensi yang ada.
Banyak yang mengatakan Aceh adalah “sekeping tanah Surga” karena hasil alamnya yang berlimpah, tapi nyatanya masyarakat kita masih banyak melarat dan menderita bahkan lebih menderita lagi setelah peralihan kekuasaan kepada pemimpin baru pascapemilihan kepala daerah 2006-2011 yang tidak memberikan perubahan apa pun khususnya bagi Aceh Utara.
Faktanya tidak ada satu pun lapangan pekerjaaan yang didirikan di Aceh Utara yang mampu menampung banyak tenaga kerja. Bahkan dengan bobolnya kas Aceh Utara sebesar Rp 220 miliar semua sektor pembangunan macet dan terhenti, bahkan salah satu solusi yang pernah diambil oleh Bupati untuk menutupi biaya operasional dengan memotong tunjangan PNS, sungguh tidak manusiawi. Barangkali ini merupakan risiko yang harus kita terima akibat salah memilih pemimpin lima tahun yang lalu!
Padahal pascatsunami provinsi Aceh tergolong provinsi yang paling banyak menerima bantuan, baik berupa dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus (OtSus), dana bagi hasil migas, dana tambahan bagi hasil migas, dana rehab-rekon, bantuan luar negeri (multidonor fund), dan dana reintegrasi. Jika diakumulasikan total dana tersebut berjumlah lebih dari 10 triliun rupiah (Serambi, 08/11/2010).
Mengatasi pengangguran
Mengatasi pengangguran memang bukan pekerjaan yang mudah. Buktinya sudah berapa puluh tahun kita merdeka dari penjajah namun dengan sumberdaya alam yang berlimpah kita masih saja belum mampu menyejahterakan masyarakat. Bahkan kita masih dijajah oleh pemimpin kita yang korup. Sehingga setiap kali pergantian pemimpin, nasib pengangguran dan masyarakat miskin masih saja tidak berubah.
Oleh karena itu perlu adanya kebijakan pemerintah yang mengacu kepada pertumbuhan ekonomi dengan menumbuhkan industri-industri baru yang memihak kepada kesejahteraan masyarakat banyak, bukan malah memperkaya pengusaha dan pejabat pemerintahannya saja.
Jika hal ini dilakukan dengan benar dan industri-industri sudah mulai dihidupkan sesuai dengan potensi alam yang dimiliki Aceh, hingga segala kebutuhan kita tidak lagi bergantung kepada Medan. Hal ini akan berjalan dengan baik jika pemimpin kita tidak lagi korup dan mengedepankan kepentingan dibandingkan dengan kepentingan masyarakat banyak maka tidak lebih dari lima tahun Insyaallah kita akan merdeka dari kemiskinan dan pengangguran secara outomatis akan terberdayakan dengan sumber daya alam yang berlimpah.
Barangkali ini akan menjadi cita-cita kita bersama yang nantinya akan menjadi pekerjaan rumah bagi siapa saja yang akan terpilih menjadi pemimpin Aceh periode 2012-2017 baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota se Aceh, khususnya Lhokseumawe dan Aceh Utara.
* Penulis adalah Ketua HMI Cabang Lhokseumawe Bidang Pemberdayaan Ummat. Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara.
Pernah dimuat di Serambi Indonesia tanggal 29 Oktober 2011