Senin, 05 Agustus 2013

Oleh : Muhammad Nasrullah




SEBAGIAN besar calon kepala daerah yang menjadi kandidat Pilkada Aceh 2012 ini; calon gubernur/wakil gubernur, calon bupati/wakil bupati, dan calon wali kota/wakil wali kota, maju dari melalui jalur independen (perseorangan). Hanya sebagian kecil saja calon yang maju dengan kendaraan partai politik lokal dan nasional yang memenuhi syarat electoral treshold.

Banyaknya kandidat yang ikut bertanding dalam Pilkada Aceh kali ini antara lain disebabkan: Pertama, terbukanya ruang bagi jalur independen (perseorangan) untuk menjadi peserta pilkada, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota seperti diatur dalam Pasal 256 UUPA; Kedua, partai politik dianggap tidak mampu menjalankan dan mengakomodir aspirasi rakyat, dan; Ketiga, tidak terakomodirnya ‘syahwat’ politik kader untuk menjadi pemimpin di tubuh partai hingga mengambil sikap keluar dari partai dan maju melalui jalur independen.

Barangkali itulah beberapa analisa penulis tentang menjamurnya kandidat-kandiat yang ikut bertarung di kancah politik untuk merebut kursi pemerintah daerah di Aceh dalam pemilukada kali ini. Namun yang perlu dipertanyakan apakah semua kandidat yang ikut bersaing dalam pemilukada sudah tentu memiliki kapasitas yang teruji? Dan apakah mereka juga betul memahami kondisi daerah yang saat ini baru melalui 6 tahun perdamaian.

 Tidak menjalankan amanah
Melihat realitas dan sepak terjang pemimpin hasil Pilkada Aceh 2006 lalu, di sejumlah daerah masyarakat menjadi trauma. Sejumlah kandidat yang dipilih dinilai tidak menjalankan amanah rakyat dengan baik dan benar, malah mengenyampingkannya. Seperti semboyan yang sering kita dengar “Munyo koen ie mandum leuhob, munye koen droe teuh mandum gop”. Tentu masing-masing orang berbeda menafsirkanya. Begitu juga penulis, melihat semboyan itu berlaku hanya untuk orang yang telah mendukungnya pada saat kampanye dulu, sedangkan yang tidak mendukung dan memilih malah terabaikan.

Jika seandainya saja tidak ada sekat pembeda antara pendukung atau bukan, barangkali Aceh ini telah makmur dan dapat mencicipi hasil Aceh bersama-sama. Lihat saja ada berapa perusahaan besar yang ada di Aceh seperti PT Arun NGL, PIM, KKA, Exxon mobil, dan beberapa perusaahaan tambang lainya yang bisa menghidupkan masyarakat Aceh. Demikian pula Aceh dikenal sebagai sekeping tanah ‘surga’ yang subur, yang hidup berbagai tanaman dan tetumbuhan. Tapi mengapa rakyat Aceh masih juga belum makmur dan sejahtera?

Apa yang salah dengan pemimpin Aceh? Setiap kali pergantian pemimpin tapi masih saja belum memberikan dampak perubahan apapun terhadap kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Kehadiran mereka malah memperburuk keadaan dan perkembangan daerah seperti yang pernah dirasakan penduduk di Aceh Utara. Dulunya daerah yang dikenal kekayaannya menjadi daerah termiskin dan daerah terburuk dalam manajemennya menurut Badan Statistik Aceh tahun 2010.

Dari sisi penggunaan anggaran APBK dan APBD yang disahkan tiap tahunnya, 50% dimanfaatkan untuk kebutuhan operasional kantor dan gaji pegawai. Sedangkan setengahnya baru dimanfaatkan untuk pembangunan infrastrukur masyarakat. Jika penggunaan anggaran tidak diperioritaskan untuk pembangunan ekonomi masyarakat bagaimana daerah yang Aceh akan dapat menekan angka kemiskinan?

 Fenomena Aceh Utara
Faktanya di saat keadaan Aceh Utara “papa” seperti ini, pemerintah masih saja memperioritaskan penggunaaan anggaran untuk membeli 32 Unit Mobil senilai 8,3 M. Sungguh hal ini tidak manusiawi, pasalnya dengan fasilitas yang dulu masih layak untuk digunakan, pemerintah masih ingin bermewah-mewah atas penderitaan masyarakat banyak. Harusnya dengan dana sebesar itu, sudah berapa irigasi dan gedung sekolah yang dapat diperbaiki. Harusnya pemerintah menggunakan aggaran untuk pertumbuhan ekonomi dan untuk mencerdaskan generasi muda dulu, bukan malah bermewah-mewah atas air mata rakyat.

Ironisnya walaupun setelah pergantian Pj Bupati Aceh Utara, keadaan daerah tidak ada ubahnya seperti pemimpin terdahulu. DPRK Aceh Utara pun ikut menindas masyarakat dengan mengesahkan anggaran pembelian mobil tersebut. Yang menjadi pertanyaan, di manakah moral pemimpin kita untuk memperbaiki kembali situasi karut-marut kondisi rakyat di Aceh Utara?

Cukuplah pengalaman keserakahan dan “kebodohan” pemimpin yang mengajarkan kita, barangkali apa yang pernah terjadi di Aceh Utara khususnya dan Aceh umumnya, dapat menjadi obat agar berhati-hati dalam memilih kepala daerah ke depan. Saya yakin semua kita menginginkan pemilukada ini menjadi awal pencerdasan masyarakat dalam memilih pemimpinnya. Agar nantinya pemimpin yang terpilih benar-benar berkualitas sesuai dengan keinginan masyarakat Aceh.

Siapa pun yang terpilih nantinya UUPA harus menjadi perioritas utama dalam melahirkan qanun-qanun dan kebijakan. Hal ini dipandang perlu untuk menjaga keberlangsungan perdamaian yang telah lama dibina. Tentu akan menjadi persoalan besar jika nilai-nilai ini terabaikan dan dikhawatirkan akan tercipta benih-benih permusuhan yang baru antar saudara.

Oleh karenanya, yang terpenting siapapun yang nanti diutus menjadi pemegang mandat Pj. Bupati/walikota yang sebentar lagi akan diutus harus berkomitmen menjaga dan mengakomodir segala kebutuhan yang diinginkan masyarakat Aceh bukan malah kepentingan elit politik yang sedang bersaing saat ini.

 Tugas besar

Ada beberapa mandat yang menjadi tugas besar bagi siapa pun yang nantinya akan terpilih, harus menjadi kepala daerah masyarakat Aceh bukan kepala kelompok pemenangan pemilunya. Mereka yang menjadi pemimpin daerah harus mampu menjaga dan mempertahankan perdamaian Aceh, mampu merumuskan qanun-qanun yang menjadi perioritas dalam rangka mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia, serta mampu menekan angka kemiskinan dan pengangguran dengan membuka lapangan kerja baru seperti yang telah diamanatkan dalam UUPA.

Selain itu reformasi birokrasi yang seringkali memperlambat laju pertumbuhan ekonomi perlu untuk diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, memperjelas dana bagi hasil pengelolaan migas sebagaimana telah disepakati dalam UUPA, 70% untuk daerah dan 30% untuk nasional. Pasalnya persoalan bagi hasil jangankan masyarakat Aceh, gubernur saja tidak mengetahui berapa keuntungan tiap tahunnya perusahaan raksasa di Aceh.

Dapatkah gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota dapat menjalankan amanah ini? Namun, yang tak kalah penting siapkah kita membantu dan mendukung siapa pun yang nantinya terpilih menjadi kepala daerah yang sangat kita cintai ini?

* Muhammad Nasrullah, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Lhokseumawe/Alumnus Sekolah Demokrasi Aceh Utara.

Pernah dimuat di Serambi Indonesia tanggal 7 April 2012

0 komentar :

Posting Komentar