Keterlibatan Lembaga Internasional Berafiliasi
Agama Dalam
Penanganan Bencana Di Indonesia
Pendahuluan
Pada
saat bencana terjadi di sebuah wilayah atau kawasan tertentu (seperti bencana
alam besar Tsunami Aceh 26 Desember 2004, Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006, Tsunami
Pangandaran Jawa Barat 17 Juli 2006, Gempa Jawa Barat 2 Septermber 2009,
disusul Gempa Padang 30 September 2009), selalu sesaat setelah bencana banyak
sekali bantuan masuk dari berbagai lembaga dalam negeri maupunl uar negeri.
Seut saja, di Aceh, setidaknya ada 579 lembaga dari dalam maupun luar negeri
yang terdata, dari 579 lembaga tersebut ada puluhan lembaga keagamaan atau yang
berafiliasi pada agama tertentu yang masuk dalam daftar tersebut. Lembaga yang berafiliasi
agama tersebut antara lain : Catholic
Relief Services (CRS), Jesuit Refuges Services (JRS), Mennonnite Central
Committee (MCC), Caritas Chistian Children Fund (CCF), Cruch Corld Services (CWS),
Action By Chruches Together International (ACT International), Lutheran World
Relief (LWF), Salvation Army, Samaritan’s Purse, Yayasan Budha Tzu Chi
Indonesia, Islamic Relief, Muslim Aid, Qatar
Charity, The Saudi Charity, King Khalid Islamic College, Victoria Melbourne, Chatolic
Organitation for Relief and Development Aid (CORDAID), Organization Catholic
Agency for Orberseas Development (cofad), Christian Reformed World Relief Committee
(crwrc), International Catholic Migration Commission (ICMC), dan caritas (Contact/Directory List, Badan
Rekontruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias, April 2007). Dalam kasus Yogyakarta ada
437 lembaga yang dating dari dalam maupun luar negeri yang terlibat (UN OCHA- Contact Directory, 2006).
Dijawa Barat tercatat 77 lembaga yang terlibat dalam penanganan pascagempa (Satkorlak
PB West Java-Contact List, 2009),
sedangkan di Padang ada 201 lembaga dari dalam dan luar negeri (Satlak Padang &
UN-OCHA, 2009).
Banyaknya
bantuan yang masuk ke sebuah daerah tidak serta merta mampu menyelesaikan
masalah, tidak jarang sebaliknya, justru banyak persoalan yang muncul.
Persoalan itu mulai dari lemahnya kordinasi yang dilakukan oleh pemerintah,
lambannya bantuan, konflik antar penerima bantuan, sampai kepada persoalan
“pemaksaan” atau upaya lembaga-lembaga asing yang berafiliasi kepada agama
untuk mengajak dan “mempengaruhi” para korban masuk atau pindah keagama
tersebut. Ajakan ini biasanya dilakukan dengan berbagai cara, ada yang melalui simbol-simbol
keagamaan yang disertakan ke dalam bantuan, melalui cara bernyanyi, ceramah,
hingga dengan cara bermain dengan anak-anak sambil memasukkan pesan-pesan
keagaan kedalamnya.
Hal
ini tentu sangat meresahkan dan mengganggu proses penyelamatan maupun proses
pemulihan wilayah terdampak tersebut. Kejadian atau aktivitas seperti ini
sangat mencederai prinsip-prinsip bantuan kemanusiaan pasca bencana. Pertama
landasan bantuan kemanusiaan pasca bencana haruslah berlandaskan kepada segala
upaya untuk meringankan penderitaan manusia yang diakibatkan oleh bencana dan konflik. Kedua, mereka yang
terkena dampak mempunyai hak terhadap kehidupan yang bermartabat termasuk dalam
menerima bantuan (Piagam Kemanusiaan dan
Standar Minimum dalam Merespon Bencana, Grasindo. 2006, 2). Siswanto, lebih
jauh menyangkut alasan kemanusiaan ini menyatakan bahwa humanitarianisme adalah
doktrin yang menekankan kesejahteraan manusia (Siswanto, 2005 : 2). Sobirin, juga memperkuat dan merinci
prinsip bantuan kemanusaan pasca bencana ini dengan menyebutkan bahwa; pada
hakekatnya setiap manusia berhak mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman,
khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana mendapatkan pendidikan,
pelatihan, dan ketrampilan dalam penyeleggaraan penangggulangan bencana
mendapatkan informasi secara tertulis dan / atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencara berperan
serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan
bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang
berkaitan dengan diri dan komunitasnya melakukan pengawasan sesuai dengan
mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana (Sobirin, 2008).
Dan tentu harus dilengkapi dengan prinsip tanpa diskriminasi dan pembedaan Ras
dan agama.
Yang
menjadi alasan masuknya berbagai lembga asing ke sebuah daerah bencana salah
satunya adalah alasan kemanusiaan, bahwa pemberian bantuan tidak punya mtif apapun
selain hanya membantu meringankan korban bencana. Namun demikian, sepertinya
motif ini tidak berlaku dalam setiap penanganan bencana karena selalu saja ada
pihak-pihak memanfaatkan situasi kesusahan tersebut; apakah untuk kepentingan
komiditi politik sematan, ajang penyebaran agama tertentu, sampai pada ajang
bisnis semata. Seperti yang dikatakan oleh Irwan Abdulah bahwa bencana
bagaimanapun, tetap syarat nila karena
memuat berbagai kepentingan, serta tujuan-tujuan dapat bevariasi (Abdullah,
2006; 21. Lebihjauh ditambahkan oleh Susetiawan bahwa banyak orang yang
berteriak demi kemanusiaan, akan tetapi banyak juga yang membonceng kata
kemanusiaan untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri (Susetiawan,
2007; xv).
Lalu
bagimana sebenarnya keterlibatan lembaga-lembaga asing dalam setiap penanganan
bencana, apakah benar mereka membantu demi alasa kemanusiaan, atau seperti yang
digambarkan di atas, bahwa selalu saja ada motif lain dibalik bantuan yang
masuk? Tulisan ini akan menggambarkan hal tersebut yang bersumber dari
pengalaman keterlibatan langsung penulis dalam beberapa kasus penanganan
bencana, baik di Aceh, Jogja, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera barat.
Selain bersumber dari pengalam, tulisan ini juga didasarkan pada studi
literatur dari berbagai sumber tertulis.
Keterlibatan Lembaga Berafiliasi
Agama di Indonesia
Seperti yang telah disampaikan bahwa
banyak sekali lembaga asing yang berafiliasi kepada agama tertentu terlibat
dalam berbagai penanganan bencana di indonesia. Jika kita membaca visi-misi
dari lembaga-lembaga tersebut tentu sangat mulia. Di balik kemuliaan kata
tersebut kadangkala tidak sejalan dengan apa yang mereka lakukan di dalam
pelaksanaannya. Beberapa lembaga asing yang berafiliasi kepada agama tertentu mempunyai
visi misi sebagai berikut : Chatolic
Relief Services (CRS) mempunyai misi : mempromisi pembangunan manusia
dengan merespon kedaduratan, melawan penyakit kemiskinan, memelihara keadadilan
di dalam masyarakat, dan melayani umat khatolik amerika dengan kehidupan dan
keimanan dalam solidaritas dengan saudara laki-laki dan perempuan di seluruh
dunia (The Mission of CRS, 2009; www.crs.org). sedangkan misi dari Jesuit Refuges Services (JRS) untuk
melayani keimanan dan meningkatkan keadilan untuk kerajaan Allah dengan dialog
budaya dan agama (Piagam JRS, Paragraf 1). Misi JRS merangkul semua orang yang
terusir dari rumahnya akibat konflik, bencana kemanusiaan atau pelanggaran hak
asasi, menganut pengajaran sosial yang menerapkan pengungsi de facto dalam
berbagai kategori manusia (Visi-Misi JRS, 2009; www.frs.or.id).
Lebih jauh JRS menambahkan bahwa secara umum mereka menjalin kerja sama yang baik dengan gereja
setempat. Meskipun sebuah organisasi katolik, JRS indonesia melayani pengungsi
dari berbagai kalangan, tidak selalu kristen atau anggota gereja katolik.
Secara umum hampir semua lembaga
tersebut menyatakan bahwa mereka akan melayani siapa saja yang memerlukan
(tidak terbatas hanyak kepada agama mereka saja), seperti yang ditujukan oleh Lutheran World Relief (LWR). Yang
menyebutkan bahwa mereka akan mencari solusi untuk memerangi kemiskinan,
bekerja untuk perdamaian dan keadilan untuk semua, serta mempromisikan
persamaan (LWR, 2009; www.lwr.org), ada juga Church World Services (CWS) yang
mempunyai misi misi berjuang untuk pembangunan yang adil dan berkelanjutan di
indonesia dengan meningkatkan kualitas hidup masyarakat indonesia yang miskin
melalui penguatan institusi masyarakat dan peningkatan mata pencaharian dengan
menggunakan strategi pemberdayaan. Bantuan diberika tanpa memandang ras, suku,
kepercayaan dan pandangan politik (www.cwsindonesia.or.id).
Di luar visi-misi tersebut ada juga
lembaga asing yang secara terang-terangan menyebutkan bahwa mereka hanya akan
melayani sesama umatnya, seperti yang disampaikan oleh Samarintan’s Purse International Relief, yang menyebutkan bahwa
akan menyediakan dan melayani dengan bantuan spiritual dan fisik kepada orang
yang terluka di seluruh dunia, korban perang, masyarakat miskin, korban bencana
alam, penyakit dan orang kelaparan dengan juguan membagi kasih Tuhan melalui
anak-anaknya,jesus christ. Sejak tahun 1870 organisasi melayani geraja secara luas untuk
mempromisikan ajaran jesus chirst.
Di luar lembaga-lembaga di atas,
tentu masih ada beberapa lembaga lain yang berafiliasi kepada agama tertentu.
Secara umum keterlibatan lembaga-lembaga tersebut sudah cukup lama di
indonesia, sebut saja JRS yang sudah ada di indonesia sejak tahun 1980 untuk
pengunggsi Vietnam di pulau Galang, dan masuk kembali tahun 1999. Dalam
Deklarasi resmi CRS sudah bekerja di Indonesia sejak 1957 (www.jrs.or.id).
lwr sejak 2004, dan cws sudah bekerja di Indonesia sejak 1964 (Materi
Presentasi CWS di Bappeda Bantul, 31 Juli 2009).
Pada umumnya lembaga-lembaga yang
telah disebutkan di atas semakin eksis dan besar di indonesia, akibat banyaknya
bencana yang terjadi, terutama pasca tsunami di Aceh, bantuan dan dukungan dana
yang mereka terima berlipat ganda dengan meningkatnya solidaritas masyarakat
dari berbagai belahan dunia. Dengan banyaknya dana dan besarnya dampak bencana
yang ditimbulkan, menyebabkan lemahnya proses pengawasan. Hal ini pula yang
membuat lembaga-lembaga tersebut bergerak lebih leluasa menggunakan dana yang
mereka miliki untuk kepentingan kemanusiaan maupun “kepentingan” terselubung
masing-masing lembaga. Mobilisasi staf asing juga sangan mudah dilakukan dalam
situasi bencana dengan alasan bantuan kemanusiaan.
Cara Kerja dan Bentuk Bantuan
Dalam
melaksanakan aktivitas dan programnya lembaga tersebut di satu sisi biasanya
senantiasa bekerja dengan mitra lokal, pemerintah lokal, gereja, LSM lokal
maupun organisasi kemasyarakatan, bahkan dengan masjid dan organisasi islam. Di
sisi lain biasanya lembaga ini juga melakukan kegiatan secara mandiri, dalam
arti melaksanakan kegiatan tanpa mitra. Di sinilah biasanya timbul persoalan
karena lembaga tersebut melaksanakan kegiatan tanpa ada yang mengawasi dengan
baik. Program-program yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga asing sangat beragam
mulai dari kegiatan tanggap darurat pascabencana sampai kepada tahap
rehabilitasi dan rekonstruksi. Program biasanya berpusat pada pemulihan
perekonomian, pembangunan rumah sementara dan rumah permanen, sekolah, pasar,
tempat ibadah, pembangunan sarana dan prasarana sanitasi dan air bersih, sampai
pada kegiatan pemulihan anak dari trauma pascabencana melalui program trauma healing maupun program
psikososial.
Dana
yang dimiliki oleh lembaga asing juga sangat besar. Lembaga seperti CRS di Aceh
mengucurkan dana sebesar 150 juga US dollar, atau sama dengan 1,5 trilliun
rupiah untuk jangka waktu 5 tahun, sedangkan ACT apda tahun 2005 saja
membarikan komitment sebesar 23 juta US dollar atau setara dengan Rp. 230
milliar (www.swaramuslim.com).
Tentu angka ini hanya ingin menunjukkan betapa besarnya sumbangan lembaga asing
yang berafiliasi agama dalam membantu korba bencana. Di luar lembaga ini tentu
masih banyak lembaga lain yang memberikan komitmentnya walaupun tidak semua
dana yang dijanjikan tersebut dikucurkan yang itu menjadi persoalan tersendiri.
Lalu
bagaimana dengan sumbangan lembaga asing, yang berafiliasi agama islam? Sebut
saja islamic relief yang hanya menyumbangkan bantuan untuk Aceh sebesar 14 juta
euro atau Rp. 196 milliar lebih. Qatar Charity pada tahun 2008 mengucurkan dana
sebesar Rp. 2.3 milliar untuk membangun rumah di Aceh (Qatar Charity, laporan
tahun 2008 (www.qcharityid.org).
Analisis Ancaman: Perubahan Gaya
Hidup
Pada
dasarnya tidak ada yang salah dari bantuan dan keterlibatan lembaga asing yang
berafiliasi pada agama tertentu, selama bantuan yang diberikan benar-benar atas
dasar kemanusiaan. Seperti yang disampaikan oleh Graham Hancock bahwa organisasi-organisasi yang melayani
orang-orang miskin atau lembaga sukarela memang didirikan untuk melayani
pekerjaan terpuji di anatar kaum miskin (Hancock,
2005). Namun demikian, mereka juga tahu bahwa tentu saja bisa mengambil
keuntungan dari munculnya situasi dahsyat untuk sementara waktu, meskipun itu
tidak digunakan sebagai kepentingan pribadi dengan menggunakan mekanisme “Public Relation”
Biasanya
wilayah yang terkena bencana terparah adalah wilayah miskin dan masyarakatnya
berpendidikan terndah. Kondisi tersebutlah yang juga membuat banyak rumah dan
fasilitas umum hancur karena gempa maupun banjir. Akibat kemiskinan struktur
bangunan yang mereka bangun tidak tahan gempa karena dibangun seadanya dengan
keerbatasan dana dan pengetahuan yang terbatas. Data-data yang terkumpul dari
wilayah bencana bisa menunjukan hal tersebut. Misalnya pada gempa yang terjadi
di Padang, Sumatera Barat, rumah hancur sebanyak 249.833 unit (Rencana Aksi,
Rehabilitasi dan Rekonstuksi wilayah Pasca Bencana Gempa Bumi di Provisi
Sumatera Barat 2009-2011). Sedangkan di Jawa Barat rumah rusak berjumlah rusak
berat sebanyak 65.643 unit, rusak sedang 48.749 unit dan rusak ringan 130.024 (Badan
Nasional Penanggulangan Bencana, 2009)
Dari
jumlah rumah rusak tersebut di atas rata-rata kerusakannya berapa pada wilayah
pedesaan yang miskin. Banyak wilayah yang tidak mempunyai sanitasi dan air yang
memadai, sekolah yang tidak layak, juga banyak masyarakat yang tidak mempunyai
MCK yang memadai, akses jalan yang tidak bagus, akses informasi yang terbatas,
dan pendidikan yang rendah. Kondisi inilah yang menjadi dasar kenapa masyarakat
korban sangat rentan untuk “dipengaruhi” atau terpengaruh oleh budaya yang
negatif dari luar yang dibawa oleh lembaga maupun para pekerja lembaga asing tersebut.
Di
Aceh pasca trunami, dari sekian banyak LSM internasional yang terdaftar, mereka
mempekerjakan sekitar 5.000 staff internasional (Carsten Volz, 23005). Dengan kehadiran staff internasional ini
tentu banyak sekali pengaruh yang muncul, termasuk perubahan yang di alami oleh
masyarakat Aceh. Seperti yang disampaikan oleh Tueku Kemal Fasya, di antara
yang sulit dipahami tentang kinerja lembaga donor internasional di pusaran
neo-globalisasi adalah gaya hidup dan lingkungan terhormat, dengan gaji tinggi
dan kualitas perumahan yang tidak terbayangkan keborosannya bila dibandingkan
standar masyarakat lokal (Fasya). Di samping itu, “proyak bencana tsunami” juga
mengubah sosok Aceh mirip orang kaya mendadak. Jalan-jalan di kota banda Aceh
dan lhokseumawse yang tadinya sepi kini macet oleh lalu lintas mobil pribadi,
sepeda motor, becak bermesin, dan angkutan kota. Perubahan juga terjadi dalam
gaya hidup masyarakat. Jika sebelum tsunami dimana-mana kaum pria mengenakan
kopiah dan topi haji, kini sudah jarang terlihat. Dalam cita rasa makanan, ayam
goreng di restoran A&W dan KFC dianggap lebih lezat dibandingkan bebek dan
gulai kambing diwarung-warung yang makin sepi dan terpinggirkan (Maruli Tobing dan
Mahdi Muhammad, 2007).
Jika
kita berkunjung ke Aceh pasca tsunami, dengan mudah kita bisa melihat perubahan
yang terjadi di warung kopi, sebelum tsunami orang Aceh membicarakan tentang
kehidupan, situasi politik, isu dan perkembangan terkini. Namun pasca tsunami
pembicaraan berubah menjadi proyek apa yang sedang ditangani, atau proyek mana
yang bepotensi untuk dimenangi, diskusi soal rehabilitasi dan rekonstruksi juga
kerapkali diselenggarakan di warung kopi, pertemuan antar pekerga NGO, atau
hanya sekedar berkumpul dengan sesama pekerja NG pada saat sore hari setelah
selesai bekerja. Selain itu, pada masa pasa tsunami banyak pula para peneliti
dari berbagai belahan dunia melakukan penelitian di Aceh sehingga mereka juga
biasannya melakukan wawancara dengan narasumber di warung kopi tersebut.
Pasca
bencana, biasanya diikuti dengan terbukannya lapangan pekerjaan yang luas,
kesempatan ini juga biasanya dimanfaatkan oleh orang-orang lokal merubah
pekerjaannya menjadi kontrak atau menjadi salah satu saf NGO yang sedang
bekerja di daerah tersebut, selain tersedianya pekerjaan yang luas gaji ang
didapatkan juga biasanya lebih tinggi dari gaji ketika tidak ada bencana.
Pendapatan yang tinggi ini kemudian diikuti dengan perubahan gaya hidup.
Seperti yang disampaikan oleh Azhari; bahkan, sejumlah intelektual, budayawan,
jurnalis, hingga seniman Aceh pun tak ketinggalan; banyak yang memilih banting
setir menjadi pekerja rekonstruksi di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR)
Aceh Nias dan sejumlah NGO. “rekonstruksi fisik menyedot sumber daya manusia
dan alam di Aceh (Azhari, 2007). Hal tersebut juga terjadi di Yogyakarta; gaya
hidup para pekerja sosial ini menjadi fenomena tersendiri, agenda untuk
berkumpul bersama sambil menyelenggarakan pesta kecil yang dibumbui dengan
minuman berkadar alkohol seperti telah menjadi kebiasaan, memang hal ini biasa
dilakukan di kampung halaman para pekerja sosial yang di impor dari berbagai
belahan dunia (dian lesatari, 2007)
Dinamika
atas hadirnya banyak pekerja asing di sebuah daerah bencana tentu sedkiti
banyak akan berpengaruh pula kepada budaya masyarakat yang dibantu. Bagaimana
tidak, di tengah masyarakat yang menjadi korban bencana, miskin, berpendidikan
rendah, tidak mempunyai akses informasi yang memadai, harus mengahadapi para
pekerja asing yang tentu juga membawa misi masing-masing dengan berbagai metode
dan cara yang telah mereka tetapkan sebelumnya. Korban tidak berdaya untuk
melakukan penolakan atas berbagai ajakan atau pengaruh tanpa adanya pengetahuan
yang cukup.
Keabsahan Agama dan Materialisasi
Kehidupan Religius
Pada
saat tsumani terjadi di Aceh, banyak persoalan yang muncul sejalan
denganmasuknya bantuan asing. Salah satu isu penting pada saat itu adalah
kristenisasi, yang kemudian di lapangan banyak ditemukan bantuan yang memakai
simbol-simbol kristen, seperti yang terjadi di beberapa kecamatan di kabupaten Aceh
besar ditemukan buku Rahasia Doa-Doa Yang
Dikabulkan, yang isinya bercerita tentang Tuhan Yesus Kristus. Bantuan
dengan simbol kristen ini juga melalui distribusi obat-obatan, permainan
anak-anak, dan juga melalui doa-doa pasca menerima bantuan yang diberikan
lembaga asing tersebut (Tim Riset Modus Aceh). Seperti yang disampaikan oleh
Teuku Muslim Ibrahim, yang secara sengaja melakukan upaya kristenisasi ini ada
sekitar tiga LSM asing. Mereka juga sering mendongeng kepada anak-anak di barak.
Mereka bertanya soal keberadaan Tuhan dan soal berapa jumlah Tuhan. Namun dari
semua itu yang terparah adalah upaya cuci otak masyarakat ini, LSM-LSM asing
ini juga sempat meminta dilibatkan dalam mengatur konsep pendidikan anak Aceh
(Ibrahim, 2008). Buku rahasia doa-doa yang dikabulkan menyebutkan: “sebelum
kita memanjatkan permohonan doa untuk kepentingan hidup kita, lebih dahulu
diwajibkan kita mengucapkan syukur kepada-Nya karena rahmat dan ni’mat-Nya. Dan
yang lebih penting lagi, kita memohon
pengampunan atas dosa-dosa kita melalui syafa’at Isa Al-Masih. Jadi,
kalau kita berdoa dengan nama Sayyidina Isa Al-Masih, kalimatullah Al-Hayat (Firman
Allah yang Hidup), dia berkenan menjadi pengantara bagi kita, dan memberi
syafaat atas dosa-dosa kita di hadapan Allah yang Maha Adil” (hlm. 33-34).
(voa-islam.com)
Selain
di Aceh besari, bukti adanay upaya kristenisasi juga terjadi di Calang.
Aceh Jaya. Seperti yang disampaikan oleh Mujiyanto; merasa kaget ketika melihat banyak sekali buku-buku tentang yesus bertebatan di kapal motor verona yang dia tumpangi menuju Calang, Aceh Jaya (Mujiyanto, 2006). Lebih jauh Abdurrahman kaoy juga menambahkan bahwa; Aceh sudah menjadi target pemurtadan sejak puluhan tahun lalu. “aktivitas mereka sudah dimulai sejak tahun 1960-an, namun selalu galal,” ujarnya. Ia menyebut, para misionaris ini berencana mendirikan kerajaan Tuhan di tanah Aceh (Kaoy. 2006).
Aceh Jaya. Seperti yang disampaikan oleh Mujiyanto; merasa kaget ketika melihat banyak sekali buku-buku tentang yesus bertebatan di kapal motor verona yang dia tumpangi menuju Calang, Aceh Jaya (Mujiyanto, 2006). Lebih jauh Abdurrahman kaoy juga menambahkan bahwa; Aceh sudah menjadi target pemurtadan sejak puluhan tahun lalu. “aktivitas mereka sudah dimulai sejak tahun 1960-an, namun selalu galal,” ujarnya. Ia menyebut, para misionaris ini berencana mendirikan kerajaan Tuhan di tanah Aceh (Kaoy. 2006).
Kasus
seperti di Aceh juga terjadi di Negeri Patamuan, Kecamatan Padang Alai,
Kabupaten Padang Pariaman. Pada saat setelah gempa terjadi banyak lembaga yang
masuk membantu meringankan penderitaan korban, pada saat inilah satu lembaga
asing yang bernama Samaritan’s Puse
International Relief membagikan komik dan kitab injil sembari juga
mendistribusikan bantuak untuk para korban. Sebelum membagikan bantuan para
pekerja Samarintan juga membagikan
komik. Komik yang dibagikan masyarakat itu yang berjudul ‘Si Bodoh”. Yang
berisi tentang siar agama Nasrani, salah satu petikan kalimat dari komik
tersebub adalah ; “Amanat agung: kerena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa
muridku dan Baptislah mereka dalam nama Bapa dan anak roh kudus dan ajarilah
meraka melakukan segala sesuatu yang telahku peringatkan kepadamu.” Buku ini
telah disebar oleh warga asing itu ke warga Patamuan yang notabe 100 persen
penduduknya beragama Islam. Pasca distrubusi para pekerja samaritan juga
berpidato: “ beberapa dianara kami datang dari berbagai negara di seluruh dunia
untuk menyebarkan agama Tuhan yaitu Yesus. Barang siapa yang percaya
kepada-Nya, idak akan binasa dan akan memperoleh kehidupan yang kekal”
(Posmetro Padang, 2009).
Selain
di Patamuan, kasus yang sama juga terjadi di Korong Koto Tinggi, Kecamatan V
Koto Timur, Kabupaten Pdang Pariaman, seperti yang disampaikan oleh Muslin Nur;
beberapa modus kristenisasi yang yang dilakukan selain membagi Alkitab, yakni
membangun ikatan emosional dengan masyarakat melalui bantruan logistik,
obat-obatan maupun perencanaan bangunan rumah tempat tingagl, mendekati warga
secara individu lalu mengajak doa bersama kemudian diberi uang sebesar Rp.10
ribu-Rp.100 ribu, melalui hipnotis kemudian dibaptis, memberikan suntikan
kepada anak-anak yang tidak sakit secara paksa ditempat yang sepi, memprovokasi
anak-anak yang tidak shalat magrib dengan memberikan 5 buah coklat yang shalat
magrib diberi 1 coklat (Nur, 2009). Jauh sebelum kejadian di Padang, Samarintan’s Purse International Relief sebenarnya
sudah dilarang beroperasi di Sumatera Utara. Seperti yang disampaikan oleh H. Raden Muhammad Syafi’i menyatakan bahawa: meneri sosial H bahchtiar
chamsyah menginstruksikan agar LSM Samaritans
Purse tidak lagi beroperasi di Sumut, karena “Bantuan LSM asing sebenarnya
sudah tidak murni lagi untuk kemanusiaan. Sudah ada misi terselubung yang ingin
mengganti akidah seseorang.” (Syafi’i, 2006).
Jika
kejadian dan tindakan seperti di atas terus terjadi di wilayah indonesia yang
terkena bencana, niscaya tidak menutup kemungkinan akan terjadi perpindahan
agama. Paling tidak, tindakan yang di sosialisasikan dengan mengambil
kesempatan pada saat bencana akan memunculkan suatu gugatan terhadap keabsahan
suatu agama yang telah dianut seseorang, apalagi jika daerah tersebut sangat
miskin dan penduduknya berpendidikan rendah.
Ancaman
lain yang muncul sejalan dengan interaksi melalui para pihak internasional
adalah meluasnya materialisme kehidupan masyarakat pasca bencana. Biasanya
setelah bencana harga komoditas langsung melonjak. Hal ini bukan hanya
disebabkan oleh minimnya ketersediaan bahan pokok, namun juga meningkatanya
kebutuhan dan minimnya ketersediaan bahan, harga sewa rumah juga meningkat
drastis. Seperti di Banda Aceh, dengan alasan inflasi tinggi maka sewa rumah
bisa mencapai 1-2 miliar lebih, atau sewa kamar di Banda Aceh sebelum tsunami
hanya berkisar 3-4 juta per buan kemudian meningkat menjadi 10 juta perbulan
(Nur Raihan-detikNews, 2006). Beberapa kebutuhan hidup juga meningkat, pola
konsumsi juga menunjukan hal yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Maruli
Tobing dan Mahdi Muhammad (2007), konsumtivisme muncul sebagai bentuk gaya
hidup baru seiring dengan derasnya modal yang masuk. Rasa sepenanggungan dan
indentitas Aceh yang dahulu menjadi sumber kekuatan dan tekad melawan kezaliman
sekarang dianggap rongsokan. Spritualitas masyarakat mengalami pengikisan
secara mendasar.
Nilai-nilai
komunalisme yang terdapat di dalam masyarakat Aceh juga relatif hilang pasca
tsunami. Dalam istilah Yusuf Wibisono (2009), masyarakat menjadi
hedonis-materialistis, tidak lagi mau bekerja jika tidak dibayar, tidak lagi
mau bergotong royong membersihkan lingkungannya sendiri. Namun demikian, perlu
dikaji secara seksama bahwa hal ini menjadi akibat dimanjakannya para korban
dengan program-program yang ditawarkan oleh berbagai lembaga asing. Salah
satunya adalah program cash for work.
Pada saat itu sangat banyak lembaga bantuan internasional yang melakukan
program tersebut degnanb erbagi ragam kompetisi harga, mulai dari 35 ribu
sampai 100 ribu. Tindakan ini yang membuat masyarakat terbiasa dengan pola
bekerja di lokasi sendiri dan dibayar.
Program
cash for work cenderung tidak terkendali dan meluas sampai hal-hal yang tidak
perlu. Seringkali program ini menjadi “tujuan” bagi perencana dan pelaksana
program serta lebih terkesan berorientasi menghabiskan dana daripada melakukan
program yang sesungguhnya. Hal ini masih diperparah oleh pemerintah yang
terkesan membiarkan kegiatan seperti ini berlangsung tanpa kontrol, karena
memang permerintah juga belum mempunyai kesiapan dalam menghadapi hal-hal
seperti ini, sehingga pemerintah lebih berperan sebagai pembari bantuan
sematan. Seperti yang disampaikan oleh Imam Prasojo melalui tulisan Icha
Rastika (2009); selama pemerintah lebih berperan sebagai pemberi bantuan.
Akibatnya, sikap warga yang cenderung mengandalkan bantuan tanpa bisa mengubah
tabiat diri sendiri sudah terlembagakan.
Pergeseran
nila dalam kasus Aceh tentu tidak hanya disebbkan oleh tsunami saja. Aceh punya
catatan dan cerita tersendiri soal ini, karena du luar tsunami masih ada
konflik yang terjadi selama kurang lebih dua puluh delapan tahun sebelumnya.
Setidakya ada tiga hal pokok yang menjadi penyebabnya. Pertama, orang Aceh
bergerak dari masyarakat yang menetap ke berpindah akibat situasi sisial yang
menekan dan mengharuskan mereka untuk berpindah. Kedua, sifat dan kedudukan
orang Aceh antara “ada” dan “tiada” yang terjadi akibat situasi yang represif
dalam kehidupan bermasyarakat. Tertekan keamanan dan usaha kelangsuang hidup
telah menyebabkan motilitas yang tinggi dan tidak menetap. Ketiga, kebingungan
yang meluas tentang ekspresi keacehan dan keindonesiaan (Abdullah, 2006).
Dengan demikian, seting bencana dan respon terhadap bencana harus pula dilihat
dalam perspektif yang lebih luas, menyangkut tekanan struktural dan kultural
yang secara histories dialami Aceh.
Kesimpulan
Jika
kondisi seperti yang telah disebutkan di atas terus dibiarkan, maka hal ini
bisa menjadi persoalan dan ancaman tersendiri bagi masyarakat yang menjadi
korban bencana di Indonesia. Untuk itu diperlukan sebuah penanganan atau
antisipasi terhadap segala kemungkinan negatif yang mungkin saja timbul akibat
dari banyakknay bantuan yang masuk ke sebuah wilayah bencana yang dibawea oleh
lembaga-lembaga internasional yang berafiliasi kepada agama-agama tertentu.
Penguatan
pengetahuan masyarakat terhadap agama, nilai-nilai kebudayaan lokal, serta
penguatan ekonomi harus terus ditingkatkan di wilayah yang rentan dan
berpotensi bencana, terutama di indonesia yang mayoritasnya penduduknya
beragama islam. Sudah seharusnyalah lembaga-lembaga besar islam seperti
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama melakukan kerja-kerja kemanusiaan di wilayah
bencana tidak hanya sekedar di wilyah yang menjadi basis utama lembaganya saja.
Selain itu, memanfaatkan sumber daya yang ada juga bisa menjadi salah satu cara
untuk mengurangi dampak masuknya pengaruh negatif dari luar daerah tersebut, misalnya dengan
memaksimalkan zakat atau sedekah dari umat muslim. Seperti yang disampaikan
oleh Yusuf Wibisono (2009) penggunaan zakat sejalan dengan tujuan zakat dalam
hal pengentasa masyarakat miskin melalui saluran penciptaan lapangan kerja,
sangan perlu dilakukan dalam rangka peningkatan ketahanan sosial.
Koran
Kompas dalam Opininya (2005) juga menyampaikan bahwa; kepedulian diseluruh masyarakat
dunia itu tentunya juga harus dikelola secara baik. Sikap spontan yang
diperlihatkan para relawan untuk membantu sesamanya yang sedang dalam
penderitaan harus memberi manfaat yang optimal. Jangan sekedar ramai-ramai,
ibaratnya semuat turun ke lapangan, tetapi yang kemudian tercipta adalan
kesemrawutan. Sebab, jangan sampai maksudnya membantu, tetapi yang terjadi
sebuah “bencana” baru.
Kerja
sama yang sinergi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok sipi juga
diperlukan untuk membendung hal-hal negatif pasca bencana. Demikian pula
dibutuhkan sebuah mekanisme check and
balance, agar pemerintah dan kolompok sipil bisa saling mengingatkan dan
saling membantu. Jika peduli kemanusiaan dapat menjadi problema, maka ia bisa
melahirkan bencna baru bagi korban bencana alam. Kepedulian murni tanpa pamrih
dan tidak berpamrih dalam praktiknya menjadi sngat sulit dibedakan. Dalam
wacana, semua menghadirkan diri bak seorang Nabi yang datang sebagai penyelamat
akan tetapi dalam realitas banyak menunjukan pertarungan diri sendiri
(Susetiwan, 2007). Korban bencana, karenanya, harus didampingi secara
kelembagaan gar mereka tidak mengalami korban dua kali akibat
kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan dengan ideologi kemanusiaan.
Daftar
Pustaka
Abdullah,
Irwan. 2006a. “Dialektika Natur, Kultur
dan Struktur Analisis Konteks, Proses dan Ranah dalam Kontruksi Bencana”,
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Antropologi pada Fakultas Ilmu Dudaya
Universitas Gadjah Mada
…………,
2006b,. Realitas Politik, Deteritorialisasi Sosial, dan Redefenisi Penelitian-Penelitian
Budaya: Aceh Sebagai Field of Study.
Dalam; Konstruksi dan Reproduksi
Kebudayaan. Pustaka Pelajar Yogyakarta (Hlm: 126-127).
Azhari.,
2007. Dari ule kareng untuk dunia
[internet]. Melalui: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0706/14/humaniora/3601181.htm
[Diakses 20 Desember 2009]
Badan
nasional penanggulangan bencana, 2009. Korba gempa jabar memperoleh jatah
hidup. BNP [internet]. Melalui:
http://bnpb.go.id/website/index.php?option=comcontent&task=view&id=2503<emid=120
[Diakses 30 Desember 2009]
Fasya,
Teuku kemal. Moral bantuan di tanah tsunami. [internet], melalui: http://kompas.com/kompas-cetak/0707/03/opini/3647891.htm
[Diakses 19 Desember 2009]
Hancock,
Graham. 2005 “Dewa-Dewa” Pencipta Kemiskinan, Kekuasaan, Prestise,
dan Korupsi Bisnis Bantuan Internasional. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas,
Yogyakarta.
Ibrahim,
Teuku Muslim., 2008. Umat Muslim Harus Membantu [internet]. Dalam; republika
news room; http://epaper.repubika.co.id/berita/21395/teuku_ibrahim_umat_muslim_harus_membantu
[Diakses 21 Desember 2009]
Islam,
Voa., 2009. Misi Menjelang Natal Kristenkan Muslim Dengan Tipuan “Doa Makbul”
[internet] melalui: http://www.voa-islam.net/news/indonesia/2009/12/12/2051/kristenisasi-jelang-natalpenginjil-tipu-muslim-dengan-buku-doa-makbul/
Kaoy,
Abdurrahman & Mujiyanto., 2006. Gerilya Misi Kristenisasi di Serambi Mekkah
Aceh. [internet] dalam: http://muallaf.com/islam-is-not-the-enemy/islamphobia/253-gerilya-misi-kristenisasi-di-serambi-mekkah-aceh
[Diakses 24 Desember 2009]
Kementerian
Negara Perencaan Pembangunan Nasional/Badan Pembangunan Nasional. Rencana Aksi,
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah
Pasca Bencana Gempa Bumi di Provinsi Sumatera Barat 2009-2011)
Kompas.,
2005 Jangan Curiga Justru Berterima Kasih. [internet]. Melalui: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0501/10/opini/1488489.htm
[Diakses 24 Desember 2009]
Lestari,
Dian., 2007. Elegi Seorang PSK. Dalam; Kisak
Kisruh Ditanah Gempa, Catatan Penganan Bencana Gempa Bumi Di Yogya-Jateng 27
Mei 2006. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta (Hlm:157)
Masruri,
Siswanto, 2005. Humanitarianisme Soejatmoko, visi kemanusiaan Kontemporer.
Pilar humanika, Yogyakarta.
Nur,
Muslim., 2009. Misionaris Berbaju LSm Diusir Warga. [internet] dalam: http://viewislam.wordpress.com/2009/11/04/misionaris-berbaju-lsm-diusir-warga/
[Diakses 20 Desember 2009]
Project,
the Sphere. 2009., Piagam Kemanusiaan Dan
Standar Minimum Dalam Respon Bencana. Grasindo Jakarta. (Hlm:2)
Volz,
Carsten., 2005. Tsunami: belajar dari respons kemanusiaan. Edisi khusus, Forced Migration Review. (Hlm:25-27)
Susetiawan.,
2007. Bencana Dalam Bencana. Kata Pengantar dalam; Kisah-Kisruh di Tanah Gempa Catatan Penganan Bencana Gempa Bumi
Yogya-Jateng 27 Mei 2006. Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta (xv)
0 komentar :
Posting Komentar