Rabu, 07 Agustus 2013


Keterlibatan Lembaga Internasional Berafiliasi Agama Dalam Penanganan Bencana Di Indonesia


Pendahuluan
Pada saat bencana terjadi di sebuah wilayah atau kawasan tertentu (seperti bencana alam besar Tsunami Aceh 26 Desember 2004, Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006, Tsunami Pangandaran Jawa Barat 17 Juli 2006, Gempa Jawa Barat 2 Septermber 2009, disusul Gempa Padang 30 September 2009), selalu sesaat setelah bencana banyak sekali bantuan masuk dari berbagai lembaga dalam negeri maupunl uar negeri. Seut saja, di Aceh, setidaknya ada 579 lembaga dari dalam maupun luar negeri yang terdata, dari 579 lembaga tersebut ada puluhan lembaga keagamaan atau yang berafiliasi pada agama tertentu yang masuk dalam daftar tersebut. Lembaga yang berafiliasi agama tersebut antara lain : Catholic Relief Services (CRS), Jesuit Refuges Services (JRS), Mennonnite Central Committee (MCC), Caritas Chistian Children Fund (CCF), Cruch Corld Services (CWS), Action By Chruches Together International (ACT International), Lutheran World Relief (LWF), Salvation Army, Samaritan’s Purse, Yayasan Budha Tzu Chi Indonesia, Islamic Relief, Muslim Aid, Qatar Charity, The Saudi Charity, King Khalid Islamic College, Victoria Melbourne, Chatolic Organitation for Relief and Development Aid (CORDAID), Organization Catholic Agency for Orberseas Development (cofad), Christian Reformed World Relief Committee (crwrc), International Catholic Migration Commission (ICMC), dan caritas  (Contact/Directory List, Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias, April 2007). Dalam kasus Yogyakarta ada 437 lembaga yang dating dari dalam maupun luar negeri yang terlibat (UN OCHA- Contact Directory, 2006). Dijawa Barat tercatat 77 lembaga yang terlibat dalam penanganan pascagempa (Satkorlak PB West Java-Contact List, 2009), sedangkan di Padang ada 201 lembaga dari dalam dan luar negeri (Satlak Padang & UN-OCHA, 2009).
Banyaknya bantuan yang masuk ke sebuah daerah tidak serta merta mampu menyelesaikan masalah, tidak jarang sebaliknya, justru banyak persoalan yang muncul. Persoalan itu mulai dari lemahnya kordinasi yang dilakukan oleh pemerintah, lambannya bantuan, konflik antar penerima bantuan, sampai kepada persoalan “pemaksaan” atau upaya lembaga-lembaga asing yang berafiliasi kepada agama untuk mengajak dan “mempengaruhi” para korban masuk atau pindah keagama tersebut. Ajakan ini biasanya dilakukan dengan berbagai cara, ada yang melalui simbol-simbol keagamaan yang disertakan ke dalam bantuan, melalui cara bernyanyi, ceramah, hingga dengan cara bermain dengan anak-anak sambil memasukkan pesan-pesan keagaan kedalamnya.
Hal ini tentu sangat meresahkan dan mengganggu proses penyelamatan maupun proses pemulihan wilayah terdampak tersebut. Kejadian atau aktivitas seperti ini sangat mencederai prinsip-prinsip bantuan kemanusiaan pasca bencana. Pertama landasan bantuan kemanusiaan pasca bencana haruslah berlandaskan kepada segala upaya untuk meringankan penderitaan manusia yang diakibatkan  oleh bencana dan konflik. Kedua, mereka yang terkena dampak mempunyai hak terhadap kehidupan yang bermartabat termasuk dalam menerima bantuan (Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Merespon Bencana, Grasindo. 2006, 2). Siswanto, lebih jauh menyangkut alasan kemanusiaan ini menyatakan bahwa humanitarianisme adalah doktrin yang menekankan kesejahteraan manusia (Siswanto, 2005 : 2). Sobirin, juga memperkuat dan merinci prinsip bantuan kemanusaan pasca bencana ini dengan menyebutkan bahwa; pada hakekatnya setiap manusia berhak mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyeleggaraan penangggulangan bencana mendapatkan informasi secara tertulis dan / atau lisan  tentang kebijakan penanggulangan bencara berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana (Sobirin, 2008). Dan tentu harus dilengkapi dengan prinsip tanpa diskriminasi dan pembedaan Ras dan agama.
Yang menjadi alasan masuknya berbagai lembga asing ke sebuah daerah bencana salah satunya adalah alasan kemanusiaan, bahwa pemberian bantuan tidak punya mtif apapun selain hanya membantu meringankan korban bencana. Namun demikian, sepertinya motif ini tidak berlaku dalam setiap penanganan bencana karena selalu saja ada pihak-pihak memanfaatkan situasi kesusahan tersebut; apakah untuk kepentingan komiditi politik sematan, ajang penyebaran agama tertentu, sampai pada ajang bisnis semata. Seperti yang dikatakan oleh Irwan Abdulah bahwa bencana bagaimanapun, tetap  syarat nila karena memuat berbagai kepentingan, serta tujuan-tujuan dapat bevariasi (Abdullah, 2006; 21. Lebihjauh ditambahkan oleh Susetiawan bahwa banyak orang yang berteriak demi kemanusiaan, akan tetapi banyak juga yang membonceng kata kemanusiaan untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri (Susetiawan, 2007; xv).
Lalu bagimana sebenarnya keterlibatan lembaga-lembaga asing dalam setiap penanganan bencana, apakah benar mereka membantu demi alasa kemanusiaan, atau seperti yang digambarkan di atas, bahwa selalu saja ada motif lain dibalik bantuan yang masuk? Tulisan ini akan menggambarkan hal tersebut yang bersumber dari pengalaman keterlibatan langsung penulis dalam beberapa kasus penanganan bencana, baik di Aceh, Jogja, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera barat. Selain bersumber dari pengalam, tulisan ini juga didasarkan pada studi literatur dari berbagai sumber tertulis.
Keterlibatan Lembaga Berafiliasi Agama di Indonesia
            Seperti yang telah disampaikan bahwa banyak sekali lembaga asing yang berafiliasi kepada agama tertentu terlibat dalam berbagai penanganan bencana di indonesia. Jika kita membaca visi-misi dari lembaga-lembaga tersebut tentu sangat mulia. Di balik kemuliaan kata tersebut kadangkala tidak sejalan dengan apa yang mereka lakukan di dalam pelaksanaannya. Beberapa lembaga asing yang berafiliasi kepada agama tertentu mempunyai visi misi sebagai berikut : Chatolic Relief Services (CRS) mempunyai misi : mempromisi pembangunan manusia dengan merespon kedaduratan, melawan penyakit kemiskinan, memelihara keadadilan di dalam masyarakat, dan melayani umat khatolik amerika dengan kehidupan dan keimanan dalam solidaritas dengan saudara laki-laki dan perempuan di seluruh dunia (The Mission of CRS, 2009; www.crs.org). sedangkan misi dari Jesuit Refuges Services (JRS) untuk melayani keimanan dan meningkatkan keadilan untuk kerajaan Allah dengan dialog budaya dan agama (Piagam JRS, Paragraf 1). Misi JRS merangkul semua orang yang terusir dari rumahnya akibat konflik, bencana kemanusiaan atau pelanggaran hak asasi, menganut pengajaran sosial yang menerapkan pengungsi de facto dalam berbagai kategori manusia (Visi-Misi JRS, 2009; www.frs.or.id). Lebih jauh JRS menambahkan bahwa secara umum mereka  menjalin kerja sama yang baik dengan gereja setempat. Meskipun sebuah organisasi katolik, JRS indonesia melayani pengungsi dari berbagai kalangan, tidak selalu kristen atau anggota gereja katolik.
            Secara umum hampir semua lembaga tersebut menyatakan bahwa mereka akan melayani siapa saja yang memerlukan (tidak terbatas hanyak kepada agama mereka saja), seperti yang ditujukan oleh Lutheran World Relief (LWR). Yang menyebutkan bahwa mereka akan mencari solusi untuk memerangi kemiskinan, bekerja untuk perdamaian dan keadilan untuk semua, serta mempromisikan persamaan (LWR, 2009; www.lwr.org), ada juga Church World Services (CWS) yang mempunyai misi misi berjuang untuk pembangunan yang adil dan berkelanjutan di indonesia dengan meningkatkan kualitas hidup masyarakat indonesia yang miskin melalui penguatan institusi masyarakat dan peningkatan mata pencaharian dengan menggunakan strategi pemberdayaan. Bantuan diberika tanpa memandang ras, suku, kepercayaan dan pandangan politik (www.cwsindonesia.or.id).
            Di luar visi-misi tersebut ada juga lembaga asing yang secara terang-terangan menyebutkan bahwa mereka hanya akan melayani sesama umatnya, seperti yang disampaikan oleh Samarintan’s Purse International Relief, yang menyebutkan bahwa akan menyediakan dan melayani dengan bantuan spiritual dan fisik kepada orang yang terluka di seluruh dunia, korban perang, masyarakat miskin, korban bencana alam, penyakit dan orang kelaparan dengan juguan membagi kasih Tuhan melalui anak-anaknya,jesus christ. Sejak tahun 1870 organisasi  melayani geraja secara luas untuk mempromisikan ajaran jesus chirst.
            Di luar lembaga-lembaga di atas, tentu masih ada beberapa lembaga lain yang berafiliasi kepada agama tertentu. Secara umum keterlibatan lembaga-lembaga tersebut sudah cukup lama di indonesia, sebut saja JRS yang sudah ada di indonesia sejak tahun 1980 untuk pengunggsi Vietnam di pulau Galang, dan masuk kembali tahun 1999. Dalam Deklarasi resmi CRS sudah bekerja di Indonesia sejak 1957 (www.jrs.or.id). lwr sejak 2004, dan cws sudah bekerja di Indonesia sejak 1964 (Materi Presentasi CWS di Bappeda Bantul, 31 Juli 2009).
            Pada umumnya lembaga-lembaga yang telah disebutkan di atas semakin eksis dan besar di indonesia, akibat banyaknya bencana yang terjadi, terutama pasca tsunami di Aceh, bantuan dan dukungan dana yang mereka terima berlipat ganda dengan meningkatnya solidaritas masyarakat dari berbagai belahan dunia. Dengan banyaknya dana dan besarnya dampak bencana yang ditimbulkan, menyebabkan lemahnya proses pengawasan. Hal ini pula yang membuat lembaga-lembaga tersebut bergerak lebih leluasa menggunakan dana yang mereka miliki untuk kepentingan kemanusiaan maupun “kepentingan” terselubung masing-masing lembaga. Mobilisasi staf asing juga sangan mudah dilakukan dalam situasi bencana dengan alasan bantuan kemanusiaan.
Cara Kerja dan Bentuk Bantuan
Dalam melaksanakan aktivitas dan programnya lembaga tersebut di satu sisi biasanya senantiasa bekerja dengan mitra lokal, pemerintah lokal, gereja, LSM lokal maupun organisasi kemasyarakatan, bahkan dengan masjid dan organisasi islam. Di sisi lain biasanya lembaga ini juga melakukan kegiatan secara mandiri, dalam arti melaksanakan kegiatan tanpa mitra. Di sinilah biasanya timbul persoalan karena lembaga tersebut melaksanakan kegiatan tanpa ada yang mengawasi dengan baik. Program-program yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga asing sangat beragam mulai dari kegiatan tanggap darurat pascabencana sampai kepada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Program biasanya berpusat pada pemulihan perekonomian, pembangunan rumah sementara dan rumah permanen, sekolah, pasar, tempat ibadah, pembangunan sarana dan prasarana sanitasi dan air bersih, sampai pada kegiatan pemulihan anak dari trauma pascabencana melalui program trauma healing maupun program psikososial.
Dana yang dimiliki oleh lembaga asing juga sangat besar. Lembaga seperti CRS di Aceh mengucurkan dana sebesar 150 juga US dollar, atau sama dengan 1,5 trilliun rupiah untuk jangka waktu 5 tahun, sedangkan ACT apda tahun 2005 saja membarikan komitment sebesar 23 juta US dollar atau setara dengan Rp. 230 milliar (www.swaramuslim.com). Tentu angka ini hanya ingin menunjukkan betapa besarnya sumbangan lembaga asing yang berafiliasi agama dalam membantu korba bencana. Di luar lembaga ini tentu masih banyak lembaga lain yang memberikan komitmentnya walaupun tidak semua dana yang dijanjikan tersebut dikucurkan yang itu menjadi persoalan tersendiri.
Lalu bagaimana dengan sumbangan lembaga asing, yang berafiliasi agama islam? Sebut saja islamic relief yang hanya menyumbangkan bantuan untuk Aceh sebesar 14 juta euro atau Rp. 196 milliar lebih. Qatar Charity pada tahun 2008 mengucurkan dana sebesar Rp. 2.3 milliar untuk membangun rumah di Aceh (Qatar Charity, laporan tahun 2008 (www.qcharityid.org).
Analisis Ancaman: Perubahan Gaya Hidup
Pada dasarnya tidak ada yang salah dari bantuan dan keterlibatan lembaga asing yang berafiliasi pada agama tertentu, selama bantuan yang diberikan benar-benar atas dasar kemanusiaan. Seperti yang disampaikan oleh Graham Hancock bahwa organisasi-organisasi yang melayani orang-orang miskin atau lembaga sukarela memang didirikan untuk melayani pekerjaan terpuji di anatar kaum miskin (Hancock, 2005). Namun demikian, mereka juga tahu bahwa tentu saja bisa mengambil keuntungan dari munculnya situasi dahsyat untuk sementara waktu, meskipun itu tidak digunakan sebagai kepentingan pribadi dengan menggunakan mekanisme “Public Relation”
Biasanya wilayah yang terkena bencana terparah adalah wilayah miskin dan masyarakatnya berpendidikan terndah. Kondisi tersebutlah yang juga membuat banyak rumah dan fasilitas umum hancur karena gempa maupun banjir. Akibat kemiskinan struktur bangunan yang mereka bangun tidak tahan gempa karena dibangun seadanya dengan keerbatasan dana dan pengetahuan yang terbatas. Data-data yang terkumpul dari wilayah bencana bisa menunjukan hal tersebut. Misalnya pada gempa yang terjadi di Padang, Sumatera Barat, rumah hancur sebanyak 249.833 unit (Rencana Aksi, Rehabilitasi dan Rekonstuksi wilayah Pasca Bencana Gempa Bumi di Provisi Sumatera Barat 2009-2011). Sedangkan di Jawa Barat rumah rusak berjumlah rusak berat sebanyak 65.643 unit, rusak sedang 48.749 unit dan rusak ringan 130.024 (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2009)
Dari jumlah rumah rusak tersebut di atas rata-rata kerusakannya berapa pada wilayah pedesaan yang miskin. Banyak wilayah yang tidak mempunyai sanitasi dan air yang memadai, sekolah yang tidak layak, juga banyak masyarakat yang tidak mempunyai MCK yang memadai, akses jalan yang tidak bagus, akses informasi yang terbatas, dan pendidikan yang rendah. Kondisi inilah yang menjadi dasar kenapa masyarakat korban sangat rentan untuk “dipengaruhi” atau terpengaruh oleh budaya yang negatif dari luar yang dibawa oleh lembaga maupun para pekerja lembaga asing tersebut.
Di Aceh pasca trunami, dari sekian banyak LSM internasional yang terdaftar, mereka mempekerjakan sekitar 5.000 staff internasional (Carsten Volz, 23005). Dengan kehadiran staff internasional ini tentu banyak sekali pengaruh yang muncul, termasuk perubahan yang di alami oleh masyarakat Aceh. Seperti yang disampaikan oleh Tueku Kemal Fasya, di antara yang sulit dipahami tentang kinerja lembaga donor internasional di pusaran neo-globalisasi adalah gaya hidup dan lingkungan terhormat, dengan gaji tinggi dan kualitas perumahan yang tidak terbayangkan keborosannya bila dibandingkan standar masyarakat lokal (Fasya). Di samping itu, “proyak bencana tsunami” juga mengubah sosok Aceh mirip orang kaya mendadak. Jalan-jalan di kota banda Aceh dan lhokseumawse yang tadinya sepi kini macet oleh lalu lintas mobil pribadi, sepeda motor, becak bermesin, dan angkutan kota. Perubahan juga terjadi dalam gaya hidup masyarakat. Jika sebelum tsunami dimana-mana kaum pria mengenakan kopiah dan topi haji, kini sudah jarang terlihat. Dalam cita rasa makanan, ayam goreng di restoran A&W dan KFC dianggap lebih lezat dibandingkan bebek dan gulai kambing diwarung-warung yang makin sepi dan terpinggirkan (Maruli Tobing dan Mahdi Muhammad, 2007).
Jika kita berkunjung ke Aceh pasca tsunami, dengan mudah kita bisa melihat perubahan yang terjadi di warung kopi, sebelum tsunami orang Aceh membicarakan tentang kehidupan, situasi politik, isu dan perkembangan terkini. Namun pasca tsunami pembicaraan berubah menjadi proyek apa yang sedang ditangani, atau proyek mana yang bepotensi untuk dimenangi, diskusi soal rehabilitasi dan rekonstruksi juga kerapkali diselenggarakan di warung kopi, pertemuan antar pekerga NGO, atau hanya sekedar berkumpul dengan sesama pekerja NG pada saat sore hari setelah selesai bekerja. Selain itu, pada masa pasa tsunami banyak pula para peneliti dari berbagai belahan dunia melakukan penelitian di Aceh sehingga mereka juga biasannya melakukan wawancara dengan narasumber di warung kopi tersebut.
Pasca bencana, biasanya diikuti dengan terbukannya lapangan pekerjaan yang luas, kesempatan ini juga biasanya dimanfaatkan oleh orang-orang lokal merubah pekerjaannya menjadi kontrak atau menjadi salah satu saf NGO yang sedang bekerja di daerah tersebut, selain tersedianya pekerjaan yang luas gaji ang didapatkan juga biasanya lebih tinggi dari gaji ketika tidak ada bencana. Pendapatan yang tinggi ini kemudian diikuti dengan perubahan gaya hidup. Seperti yang disampaikan oleh Azhari; bahkan, sejumlah intelektual, budayawan, jurnalis, hingga seniman Aceh pun tak ketinggalan; banyak yang memilih banting setir menjadi pekerja rekonstruksi di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh Nias dan sejumlah NGO. “rekonstruksi fisik menyedot sumber daya manusia dan alam di Aceh (Azhari, 2007). Hal tersebut juga terjadi di Yogyakarta; gaya hidup para pekerja sosial ini menjadi fenomena tersendiri, agenda untuk berkumpul bersama sambil menyelenggarakan pesta kecil yang dibumbui dengan minuman berkadar alkohol seperti telah menjadi kebiasaan, memang hal ini biasa dilakukan di kampung halaman para pekerja sosial yang di impor dari berbagai belahan dunia (dian lesatari, 2007)
Dinamika atas hadirnya banyak pekerja asing di sebuah daerah bencana tentu sedkiti banyak akan berpengaruh pula kepada budaya masyarakat yang dibantu. Bagaimana tidak, di tengah masyarakat yang menjadi korban bencana, miskin, berpendidikan rendah, tidak mempunyai akses informasi yang memadai, harus mengahadapi para pekerja asing yang tentu juga membawa misi masing-masing dengan berbagai metode dan cara yang telah mereka tetapkan sebelumnya. Korban tidak berdaya untuk melakukan penolakan atas berbagai ajakan atau pengaruh tanpa adanya pengetahuan yang cukup.
Keabsahan Agama dan Materialisasi Kehidupan Religius
Pada saat tsumani terjadi di Aceh, banyak persoalan yang muncul sejalan denganmasuknya bantuan asing. Salah satu isu penting pada saat itu adalah kristenisasi, yang kemudian di lapangan banyak ditemukan bantuan yang memakai simbol-simbol kristen, seperti yang terjadi di beberapa kecamatan di kabupaten Aceh besar ditemukan buku Rahasia Doa-Doa Yang Dikabulkan, yang isinya bercerita tentang Tuhan Yesus Kristus. Bantuan dengan simbol kristen ini juga melalui distribusi obat-obatan, permainan anak-anak, dan juga melalui doa-doa pasca menerima bantuan yang diberikan lembaga asing tersebut (Tim Riset Modus Aceh). Seperti yang disampaikan oleh Teuku Muslim Ibrahim, yang secara sengaja melakukan upaya kristenisasi ini ada sekitar tiga LSM asing. Mereka juga sering mendongeng kepada anak-anak di barak. Mereka bertanya soal keberadaan Tuhan dan soal berapa jumlah Tuhan. Namun dari semua itu yang terparah adalah upaya cuci otak masyarakat ini, LSM-LSM asing ini juga sempat meminta dilibatkan dalam mengatur konsep pendidikan anak Aceh (Ibrahim, 2008). Buku rahasia doa-doa yang dikabulkan menyebutkan: “sebelum kita memanjatkan permohonan doa untuk kepentingan hidup kita, lebih dahulu diwajibkan kita mengucapkan syukur kepada-Nya karena rahmat dan ni’mat-Nya. Dan yang lebih penting lagi, kita memohon  pengampunan atas dosa-dosa kita melalui syafa’at Isa Al-Masih. Jadi, kalau kita berdoa dengan nama Sayyidina Isa Al-Masih, kalimatullah Al-Hayat (Firman Allah yang Hidup), dia berkenan menjadi pengantara bagi kita, dan memberi syafaat atas dosa-dosa kita di hadapan Allah yang Maha Adil” (hlm. 33-34). (voa-islam.com)
Selain di Aceh besari, bukti adanay upaya kristenisasi juga terjadi di Calang.
Aceh Jaya. Seperti yang disampaikan oleh Mujiyanto; merasa kaget ketika melihat banyak sekali buku-buku tentang yesus bertebatan di kapal motor verona yang dia tumpangi menuju Calang, Aceh Jaya (Mujiyanto, 2006). Lebih jauh Abdurrahman kaoy juga menambahkan bahwa; Aceh sudah menjadi target pemurtadan sejak puluhan tahun lalu. “aktivitas mereka sudah dimulai sejak tahun 1960-an, namun selalu galal,” ujarnya. Ia menyebut, para misionaris ini berencana mendirikan kerajaan Tuhan di tanah Aceh (Kaoy. 2006).
Kasus seperti di Aceh juga terjadi di Negeri Patamuan, Kecamatan Padang Alai, Kabupaten Padang Pariaman. Pada saat setelah gempa terjadi banyak lembaga yang masuk membantu meringankan penderitaan korban, pada saat inilah satu lembaga asing yang bernama Samaritan’s Puse International Relief membagikan komik dan kitab injil sembari juga mendistribusikan bantuak untuk para korban. Sebelum membagikan bantuan para pekerja Samarintan juga membagikan komik. Komik yang dibagikan masyarakat itu yang berjudul ‘Si Bodoh”. Yang berisi tentang siar agama Nasrani, salah satu petikan kalimat dari komik tersebub adalah ; “Amanat agung: kerena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan Baptislah mereka dalam nama Bapa dan anak roh kudus dan ajarilah meraka melakukan segala sesuatu yang telahku peringatkan kepadamu.” Buku ini telah disebar oleh warga asing itu ke warga Patamuan yang notabe 100 persen penduduknya beragama Islam. Pasca distrubusi para pekerja samaritan juga berpidato: “ beberapa dianara kami datang dari berbagai negara di seluruh dunia untuk menyebarkan agama Tuhan yaitu Yesus. Barang siapa yang percaya kepada-Nya, idak akan binasa dan akan memperoleh kehidupan yang kekal” (Posmetro Padang, 2009).
Selain di Patamuan, kasus yang sama juga terjadi di Korong Koto Tinggi, Kecamatan V Koto Timur, Kabupaten Pdang Pariaman, seperti yang disampaikan oleh Muslin Nur; beberapa modus kristenisasi yang yang dilakukan selain membagi Alkitab, yakni membangun ikatan emosional dengan masyarakat melalui bantruan logistik, obat-obatan maupun perencanaan bangunan rumah tempat tingagl, mendekati warga secara individu lalu mengajak doa bersama kemudian diberi uang sebesar Rp.10 ribu-Rp.100 ribu, melalui hipnotis kemudian dibaptis, memberikan suntikan kepada anak-anak yang tidak sakit secara paksa ditempat yang sepi, memprovokasi anak-anak yang tidak shalat magrib dengan memberikan 5 buah coklat yang shalat magrib diberi 1 coklat (Nur, 2009). Jauh sebelum kejadian di Padang, Samarintan’s Purse International Relief sebenarnya sudah dilarang beroperasi di Sumatera Utara. Seperti yang disampaikan oleh H. Raden Muhammad Syafi’i  menyatakan bahawa: meneri sosial H bahchtiar chamsyah menginstruksikan agar LSM Samaritans Purse tidak lagi beroperasi di Sumut, karena “Bantuan LSM asing sebenarnya sudah tidak murni lagi untuk kemanusiaan. Sudah ada misi terselubung yang ingin mengganti akidah seseorang.” (Syafi’i, 2006).
Jika kejadian dan tindakan seperti di atas terus terjadi di wilayah indonesia yang terkena bencana, niscaya tidak menutup kemungkinan akan terjadi perpindahan agama. Paling tidak, tindakan yang di sosialisasikan dengan mengambil kesempatan pada saat bencana akan memunculkan suatu gugatan terhadap keabsahan suatu agama yang telah dianut seseorang, apalagi jika daerah tersebut sangat miskin dan penduduknya berpendidikan rendah.
Ancaman lain yang muncul sejalan dengan interaksi melalui para pihak internasional adalah meluasnya materialisme kehidupan masyarakat pasca bencana. Biasanya setelah bencana harga komoditas langsung melonjak. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh minimnya ketersediaan bahan pokok, namun juga meningkatanya kebutuhan dan minimnya ketersediaan bahan, harga sewa rumah juga meningkat drastis. Seperti di Banda Aceh, dengan alasan inflasi tinggi maka sewa rumah bisa mencapai 1-2 miliar lebih, atau sewa kamar di Banda Aceh sebelum tsunami hanya berkisar 3-4 juta per buan kemudian meningkat menjadi 10 juta perbulan (Nur Raihan-detikNews, 2006). Beberapa kebutuhan hidup juga meningkat, pola konsumsi juga menunjukan hal yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Maruli Tobing dan Mahdi Muhammad (2007), konsumtivisme muncul sebagai bentuk gaya hidup baru seiring dengan derasnya modal yang masuk. Rasa sepenanggungan dan indentitas Aceh yang dahulu menjadi sumber kekuatan dan tekad melawan kezaliman sekarang dianggap rongsokan. Spritualitas masyarakat mengalami pengikisan secara mendasar.
Nilai-nilai komunalisme yang terdapat di dalam masyarakat Aceh juga relatif hilang pasca tsunami. Dalam istilah Yusuf Wibisono (2009), masyarakat menjadi hedonis-materialistis, tidak lagi mau bekerja jika tidak dibayar, tidak lagi mau bergotong royong membersihkan lingkungannya sendiri. Namun demikian, perlu dikaji secara seksama bahwa hal ini menjadi akibat dimanjakannya para korban dengan program-program yang ditawarkan oleh berbagai lembaga asing. Salah satunya adalah program cash for work. Pada saat itu sangat banyak lembaga bantuan internasional yang melakukan program tersebut degnanb erbagi ragam kompetisi harga, mulai dari 35 ribu sampai 100 ribu. Tindakan ini yang membuat masyarakat terbiasa dengan pola bekerja di lokasi sendiri dan dibayar.
Program cash for work cenderung tidak terkendali dan meluas sampai hal-hal yang tidak perlu. Seringkali program ini menjadi “tujuan” bagi perencana dan pelaksana program serta lebih terkesan berorientasi menghabiskan dana daripada melakukan program yang sesungguhnya. Hal ini masih diperparah oleh pemerintah yang terkesan membiarkan kegiatan seperti ini berlangsung tanpa kontrol, karena memang permerintah juga belum mempunyai kesiapan dalam menghadapi hal-hal seperti ini, sehingga pemerintah lebih berperan sebagai pembari bantuan sematan. Seperti yang disampaikan oleh Imam Prasojo melalui tulisan Icha Rastika (2009); selama pemerintah lebih berperan sebagai pemberi bantuan. Akibatnya, sikap warga yang cenderung mengandalkan bantuan tanpa bisa mengubah tabiat diri sendiri sudah terlembagakan.
Pergeseran nila dalam kasus Aceh tentu tidak hanya disebbkan oleh tsunami saja. Aceh punya catatan dan cerita tersendiri soal ini, karena du luar tsunami masih ada konflik yang terjadi selama kurang lebih dua puluh delapan tahun sebelumnya. Setidakya ada tiga hal pokok yang menjadi penyebabnya. Pertama, orang Aceh bergerak dari masyarakat yang menetap ke berpindah akibat situasi sisial yang menekan dan mengharuskan mereka untuk berpindah. Kedua, sifat dan kedudukan orang Aceh antara “ada” dan “tiada” yang terjadi akibat situasi yang represif dalam kehidupan bermasyarakat. Tertekan keamanan dan usaha kelangsuang hidup telah menyebabkan motilitas yang tinggi dan tidak menetap. Ketiga, kebingungan yang meluas tentang ekspresi keacehan dan keindonesiaan (Abdullah, 2006). Dengan demikian, seting bencana dan respon terhadap bencana harus pula dilihat dalam perspektif yang lebih luas, menyangkut tekanan struktural dan kultural yang secara histories dialami Aceh.
Kesimpulan
Jika kondisi seperti yang telah disebutkan di atas terus dibiarkan, maka hal ini bisa menjadi persoalan dan ancaman tersendiri bagi masyarakat yang menjadi korban bencana di Indonesia. Untuk itu diperlukan sebuah penanganan atau antisipasi terhadap segala kemungkinan negatif yang mungkin saja timbul akibat dari banyakknay bantuan yang masuk ke sebuah wilayah bencana yang dibawea oleh lembaga-lembaga internasional yang berafiliasi kepada agama-agama tertentu.
Penguatan pengetahuan masyarakat terhadap agama, nilai-nilai kebudayaan lokal, serta penguatan ekonomi harus terus ditingkatkan di wilayah yang rentan dan berpotensi bencana, terutama di indonesia yang mayoritasnya penduduknya beragama islam. Sudah seharusnyalah lembaga-lembaga besar islam seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama melakukan kerja-kerja kemanusiaan di wilayah bencana tidak hanya sekedar di wilyah yang menjadi basis utama lembaganya saja. Selain itu, memanfaatkan sumber daya yang ada juga bisa menjadi salah satu cara untuk mengurangi dampak masuknya pengaruh negatif dari  luar daerah tersebut, misalnya dengan memaksimalkan zakat atau sedekah dari umat muslim. Seperti yang disampaikan oleh Yusuf Wibisono (2009) penggunaan zakat sejalan dengan tujuan zakat dalam hal pengentasa masyarakat miskin melalui saluran penciptaan lapangan kerja, sangan perlu dilakukan dalam rangka peningkatan ketahanan sosial.
Koran Kompas dalam Opininya (2005) juga menyampaikan bahwa; kepedulian diseluruh masyarakat dunia itu tentunya juga harus dikelola secara baik. Sikap spontan yang diperlihatkan para relawan untuk membantu sesamanya yang sedang dalam penderitaan harus memberi manfaat yang optimal. Jangan sekedar ramai-ramai, ibaratnya semuat turun ke lapangan, tetapi yang kemudian tercipta adalan kesemrawutan. Sebab, jangan sampai maksudnya membantu, tetapi yang terjadi sebuah “bencana” baru.
Kerja sama yang sinergi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok sipi juga diperlukan untuk membendung hal-hal negatif pasca bencana. Demikian pula dibutuhkan sebuah mekanisme check and balance, agar pemerintah dan kolompok sipil bisa saling mengingatkan dan saling membantu. Jika peduli kemanusiaan dapat menjadi problema, maka ia bisa melahirkan bencna baru bagi korban bencana alam. Kepedulian murni tanpa pamrih dan tidak berpamrih dalam praktiknya menjadi sngat sulit dibedakan. Dalam wacana, semua menghadirkan diri bak seorang Nabi yang datang sebagai penyelamat akan tetapi dalam realitas banyak menunjukan pertarungan diri sendiri (Susetiwan, 2007). Korban bencana, karenanya, harus didampingi secara kelembagaan gar mereka tidak mengalami korban dua kali akibat kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan dengan ideologi kemanusiaan.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2006a. “Dialektika Natur, Kultur dan Struktur Analisis Konteks, Proses dan Ranah dalam Kontruksi Bencana”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Antropologi pada Fakultas Ilmu Dudaya Universitas Gadjah Mada
…………, 2006b,. Realitas Politik, Deteritorialisasi Sosial, dan Redefenisi Penelitian-Penelitian Budaya: Aceh Sebagai Field of Study. Dalam; Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Pustaka Pelajar Yogyakarta (Hlm: 126-127).
Azhari., 2007. Dari ule kareng untuk dunia [internet]. Melalui: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0706/14/humaniora/3601181.htm [Diakses 20 Desember 2009]
Badan nasional penanggulangan bencana, 2009. Korba gempa jabar memperoleh jatah hidup. BNP [internet]. Melalui: http://bnpb.go.id/website/index.php?option=comcontent&task=view&id=2503&ltemid=120 [Diakses 30 Desember 2009]
Fasya, Teuku kemal. Moral bantuan di tanah tsunami. [internet], melalui: http://kompas.com/kompas-cetak/0707/03/opini/3647891.htm [Diakses 19 Desember 2009]
Hancock, Graham. 2005 “Dewa-DewaPencipta Kemiskinan, Kekuasaan, Prestise, dan Korupsi Bisnis Bantuan Internasional. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta.
Ibrahim, Teuku Muslim., 2008. Umat Muslim Harus Membantu [internet]. Dalam; republika news room; http://epaper.repubika.co.id/berita/21395/teuku_ibrahim_umat_muslim_harus_membantu [Diakses 21 Desember 2009]
Islam, Voa., 2009. Misi Menjelang Natal Kristenkan Muslim Dengan Tipuan “Doa Makbul” [internet] melalui: http://www.voa-islam.net/news/indonesia/2009/12/12/2051/kristenisasi-jelang-natalpenginjil-tipu-muslim-dengan-buku-doa-makbul/
Kaoy, Abdurrahman & Mujiyanto., 2006. Gerilya Misi Kristenisasi di Serambi Mekkah Aceh. [internet] dalam: http://muallaf.com/islam-is-not-the-enemy/islamphobia/253-gerilya-misi-kristenisasi-di-serambi-mekkah-aceh [Diakses 24 Desember 2009]
Kementerian Negara Perencaan Pembangunan Nasional/Badan Pembangunan Nasional. Rencana Aksi, Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana Gempa Bumi di Provinsi Sumatera Barat 2009-2011)
Kompas., 2005 Jangan Curiga Justru Berterima Kasih. [internet]. Melalui: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0501/10/opini/1488489.htm [Diakses 24 Desember 2009]
Lestari, Dian., 2007. Elegi Seorang PSK. Dalam; Kisak Kisruh Ditanah Gempa, Catatan Penganan Bencana Gempa Bumi Di Yogya-Jateng 27 Mei 2006. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta (Hlm:157)
Masruri, Siswanto, 2005. Humanitarianisme Soejatmoko, visi kemanusiaan Kontemporer. Pilar humanika, Yogyakarta.
Nur, Muslim., 2009. Misionaris Berbaju LSm Diusir Warga. [internet] dalam: http://viewislam.wordpress.com/2009/11/04/misionaris-berbaju-lsm-diusir-warga/ [Diakses 20 Desember 2009]
Project, the Sphere. 2009., Piagam Kemanusiaan Dan Standar Minimum Dalam Respon Bencana. Grasindo Jakarta. (Hlm:2)
Volz, Carsten., 2005. Tsunami: belajar dari respons kemanusiaan. Edisi khusus, Forced Migration Review. (Hlm:25-27)
Susetiawan., 2007. Bencana Dalam Bencana. Kata Pengantar dalam; Kisah-Kisruh di Tanah Gempa Catatan Penganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006. Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta (xv)





0 komentar :

Posting Komentar