Senin, 05 Agustus 2013

Oleh : Muhammad Nasrullah



PERGURUAN tinggi mencetak sarjana hingga ribuan lulusan setiap tahunnya di Aceh, sementara lapangan pekerjaan tidak mampu menampung seluruh lulusan sarjana, dan akhirnya mau tidak mau sebagian mereka menganggur. Itulah realitas yang terjadi saat ini.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional tahun 2011, dari total 2.069.000 jiwa total penduduk Aceh yang umur wajib kerja, 171.000 jiwa atau 8,27 persen di antaranya tercatat sebagai pengangguran. Hal ini mempengaruhi angka kemiskinan Aceh hingga menempatkan Aceh sebagai Provinsi termiskin ke tujuh dalam skala nasional dengan prosentase 20,98 persen dari total 4.486.570 jiwa penduduknya.

Dengan jumlah sarjana penganggur yang sangat fantastis tentu akan menimbulkan pertanyaan, ke mana saja wakil kita di DPRA/DPRK selama ini? Apakah benar seperti yang pernah dikatakan Iwan Fals dalam lagunya bahwa kehadiran mereka hanya untuk menyanyikan lagu “setuju” dalam setiap membuat kebijakan? Hingga sarjana penganggur kian tahun kian bertambah tanpa ada solusi!

Bertambahnya pengangguran tiap tahunnya baik dari lulusan diploma maupun sarjana secara tidak langsung akan memperlambat kemajuan daerah. Bahkan hal ini dapat memicu tumbuhnya berbagai tindak kriminalitas dan dapat mengancam timbulnya konflik yang baru karena kebutuhan masyarakat kecil kian hari tidak terpenuhi.

Lulusan sarjana baru dari berbagai perguruan tinggi di Aceh harusnya dapat memberikan pencerahan masyarakat yang barangkali selama ini “gelap” hingga dapat memicu tindak kriminal di daerah yang konon memiliki sumber daya yang berlimpah. Ironisnya bagaimana mereka mampu memberikan pencerahan, toh mereka saja masih menganggur. Ada apa sebenarnya dengan Aceh? Mestinya dengan kehadiran sarjana dari berbagai perguruan tinggi di Aceh dapat dijadikan sebagai motivasi dan peluang bagi pemerintah untuk menciptakan inovasi baru sekaligus menuntaskan angka pengangguran dan kemiskinan.

 Potensi Alam
Selain migas dan barang tambang (emas, bijih besi), dan masih banyak potensi yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan langsung oleh masyarakat baik yang berasal dari darat maupun lautan. Adapun potensi yang berasal dari darat berupa; kopi, lada, karet, kelapa, kelapa sawit, cengkeh, coklat, sementara yang berasal dari lautan seperti ikan, rumput laut dan terumbu karang yang mungkin sudah sedikit berkurang karena global warming.

Ditambah lagi dengan berbagai objek wisata yang sering dikunjungi masyarakat sekitar membuat Aceh menarik perhatian wisata asing seperti; Sabang, Tapak Tuan, Laot tawa Takengon, Blang Kulam Aceh Utara, Kuala Beukah Idi, Ujong Blang Lhokseumawe. Kuala Langsa, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Jika dari wisata saja dikembangkan oleh pemerintah, penulis yakin selain memberikan masukan kepada PAD juga memberikan nilai tambah terhadap ekonomi masyarakat dan industri-industri kecil akan berkembang. Namun penulis melihat sedikit sekali ide kreatif yang muncul dari pemerintah untuk memberdayakan pengangguran yang ada dengan memanfaatkan potensi yang ada.

Banyak yang mengatakan Aceh adalah “sekeping tanah Surga” karena hasil alamnya yang berlimpah, tapi nyatanya masyarakat kita masih banyak melarat dan menderita bahkan lebih menderita lagi setelah peralihan kekuasaan kepada pemimpin baru pascapemilihan kepala daerah 2006-2011 yang tidak memberikan perubahan apa pun khususnya bagi Aceh Utara.

Faktanya tidak ada satu pun lapangan pekerjaaan yang didirikan di Aceh Utara yang mampu menampung banyak tenaga kerja. Bahkan dengan bobolnya kas Aceh Utara sebesar Rp 220 miliar semua sektor pembangunan macet dan terhenti, bahkan salah satu solusi yang pernah diambil oleh Bupati untuk menutupi biaya operasional dengan memotong tunjangan PNS, sungguh tidak manusiawi. Barangkali ini merupakan risiko yang harus kita terima akibat salah memilih pemimpin lima tahun yang lalu!

Padahal pascatsunami provinsi Aceh tergolong provinsi yang paling banyak menerima bantuan, baik berupa dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus (OtSus), dana bagi hasil migas, dana tambahan bagi hasil migas, dana rehab-rekon, bantuan luar negeri (multidonor fund), dan dana reintegrasi. Jika diakumulasikan total dana tersebut berjumlah lebih dari 10 triliun rupiah (Serambi, 08/11/2010).

 Mengatasi pengangguran
Mengatasi pengangguran memang bukan pekerjaan yang mudah. Buktinya sudah berapa puluh tahun kita merdeka dari penjajah namun dengan sumberdaya alam yang berlimpah kita masih saja belum mampu menyejahterakan masyarakat. Bahkan kita masih dijajah oleh pemimpin kita yang korup. Sehingga setiap kali pergantian pemimpin, nasib pengangguran dan masyarakat miskin masih saja tidak berubah.

Oleh karena itu perlu adanya kebijakan pemerintah yang mengacu kepada pertumbuhan ekonomi dengan menumbuhkan industri-industri baru yang memihak kepada kesejahteraan masyarakat banyak, bukan malah memperkaya pengusaha dan pejabat pemerintahannya saja.

Jika hal ini dilakukan dengan benar dan industri-industri sudah mulai dihidupkan sesuai dengan potensi alam yang dimiliki Aceh, hingga segala kebutuhan kita tidak lagi bergantung kepada Medan. Hal ini akan berjalan dengan baik jika pemimpin kita tidak lagi korup dan mengedepankan kepentingan dibandingkan dengan kepentingan masyarakat banyak maka tidak lebih dari lima tahun Insyaallah kita akan merdeka dari kemiskinan dan pengangguran secara outomatis akan terberdayakan dengan sumber daya alam yang berlimpah.

Barangkali ini akan menjadi cita-cita kita bersama yang nantinya akan menjadi pekerjaan rumah bagi siapa saja yang akan terpilih menjadi pemimpin Aceh periode 2012-2017 baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota se Aceh, khususnya Lhokseumawe dan Aceh Utara.

* Penulis adalah Ketua HMI Cabang Lhokseumawe Bidang Pemberdayaan Ummat. Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara.

Pernah dimuat di Serambi Indonesia tanggal 29 Oktober 2011

0 komentar :

Posting Komentar