Rabu, 14 Agustus 2013



Banyak orang berpikir Anda butuhkan hidup di negara asing, punya teman dekat asing, atau menghabiskan sepanjang malam dengan buku tata bahasa inggris tentu itu hal yang sangat membosankan jika anda tidak memiliki trik atau tips agar anda nyaman dan sukses dalam menguasai bahasa inggris. Berikut ada 7 tips agar anda mudah menguasai bahasa inggris.

1. Bersantai dan menikmati pembicaraan
Bila Anda menggunakan bahasa Inggris, jangan takut salah dalam pengucapan kata-kata.  Hampir Kemungkinan besar Anda akan selalu membuat kesalahan kecil saat berbicara bahasa asing. Yang terpenting untuk para pemula adalah belajar dari kesalahan yang anda buat. Ingatlah bayi tidak akan bisa berjalan tanpa banyak terjatuh.

2. Kenali bagaimana Anda belajar
Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa Manusia punya  cara yang lebih disukai dalam belajar.. Jika Anda adalah seorang pembelajar visual, Anda dapat menghubungkan bahasa untuk gambar dan foto. Menonton film dengan sub judul, mencoba untuk membayangkan diri Anda dalam situasi imajiner berbahasa Inggris, kata memperbaiki dengan gambar dalam pikiran Anda Jika Anda memiliki gaya auditori, Anda memiliki 'baik telinga' untuk bahasa dan harus mendengarkan musik sebanyak mungkin dan menonton film dalam bahasa Inggris. Jika Anda memiliki gaya analitik, kemudian menghabiskan waktu mempelajari tata bahasa dan membandingkan Vietnam dengan bahasa Inggris. Seorang pelajar dengan gaya interaktif harus menghabiskan waktu sebanyak mungkin berbicara dengan orang lain, membahas bahasa dan umumnya bekerja dalam sebuah tim. Oleh karena itu setiap pelajar yang ingin belajar bahasa inggris dengan efesien lebih baik banyak membuang waktu belajar dengan gaya yang digambarkan diatas.
Namun itu adalah fakta yang menyedihkan bahwa seluruh dunia, banyak orang masih diajarkan dalam gaya tradisional yang nikmat pelajar analitik dan pendengaran.

3. Pelajari teknik memori

Ada banyak buku tentang bagaimana meningkatkan memori Anda. Ini adalah keterampilan yang peserta didik sukses yang saya kenal sangat serius.

4. Benamkan diri Anda

Saya pernah mengunjungi rumah seorang mahasiswa Spanyol yang sebenarnya cukup seorang pengusaha sukses. Rumahnya penuh dengan potongan-potongan kecil kertas kuning yang disebut post-it notes! Setiap kali dia pergi ke dapur untuk membuat secangkir kopi, ke kamar mandi untuk mencukur atau menggunakan remote control untuk mengubah saluran, ia melihat kata-kata. Lagi dan lagi dan lagi. Setelah kata itu tetap dalam pikirannya, ia menempatkan kertas menjadi file yang ia melihat melalui pada akhir minggu. Dengan cara ini, dia belajar 10 kata per hari, tujuh hari seminggu. Membaca, mendengarkan dan berbicara bahasa Inggris di setiap kesempatan! Para musisi terbaik dan pemain sepak bola berlatih keterampilan mereka berulang. Keterampilan berkomunikasi dalam bahasa asing adalah sama.

5. Cari Teman untuk berkomunikasi aktif

Saya baru-baru bertemu dengan seseorang yang tiga kali seminggu meninggalkan desa kecilnya di luar Hanoi, perjalanan 1 jam pada sepeda motor dan ketika ia tiba di tempat tujuan, berbicara dalam bahasa Inggris selama dua jam kepada teman-temannya di Inggris, Australia dan Amerika Serikat. Tujuannya? Sebuah Café Internet dengan voice fasilitas chatting di kota kecil terdekat. Ketika saya bertemu dengannya, dia tidak pernah berbicara dengan wajah asing menghadapi sebelum, tapi setelah hanya dua bulan berlatih, ia bisa melakukan percakapan dengan saya dalam bahasa Inggris.

Internet telah membawa begitu banyak manfaat bagi pelajar bahasa. Anda dapat menemukan situs yang bagus untuk berlatih tata bahasa, kosakata, mendengarkan, pengucapan dan sekarang, yang paling penting dari semua, berbicara.

6. Pelajari Kosakata sistematis

Ingatlah bahwa belajar bahasa Inggris bukan hanya tentang tata bahasa belajar. Ketika kita berbicara, kita menyatakan sebagian besar ide-ide kita melalui pilihan kami kosakata, melalui kolokasi dan ekspresi tetap. Pikirkan dengan hati-hati tentang bagaimana Anda mengatur notebook Anda, jangan hanya menulis daftar panjang kata-kata baru! Cobalah untuk membagi notebook Anda menjadi beberapa bagian. Berikut adalah beberapa ide ...



halaman subjek, belanja, liburan, uang kata kerja dan kata benda yang pergi bersama-sama, melakukan pekerjaan rumah Anda, membuat ekspresi kue yang menggunakan kata-kata umum, kelebihan berat badan, untuk mendapatkan lebih dari sesuatu, atas verba phrasal bulan, untuk tumbuh, untuk memberitahu off, untuk menjaga ekspresi tetap, di sisi lain, menurut pendapat saya, dengan cara idiom, sekali dalam bulan biru, akan berakhir bulan, keluar dari ekspresi biru dengan preposisi, pada malam hari, di akhir pekan, pada bulan Maret, di 1988

.

7. Cari Motivasi: jangan menunda sampai besok, apa yang dapat Anda lakukan hari ini.

Di London, aku punya teman Thailand yang menghadiri universitas di sana, mempelajari desain fashion. Bahasa Inggris-nya sangat baik. Dia mengatakan kepada saya bahwa ketika ia berusia lima belas dia memutuskan bahwa itu adalah mimpinya untuk belajar fashion di Inggris. Dia tahu apa yang dia butuhkan skor IELTS dan mulai belajar segera. Ketika ia berusia sembilan belas tahun dan cukup tua untuk pergi, dia siap. Awal nya adalah langkah yang cerdas: ketika dia kembali ke Thailand setelah satu tahun, beberapa temannya masih belajar bahasa Inggris, menunggu untuk pergi ke luar negeri untuk belajar. Dia sekarang fasih, memiliki kualifikasi dan masuk ke pekerjaan yang besar!

Kamis, 08 Agustus 2013





Indonesia, Aceh, GAM, DOM, NANGGROE Conflict Aceh Darussalam (NAD) reflects the dynamics of the conflict-ridden region. Prakemerdekaan war period until the reform era Indonesia, violence is always embedded in traces of folk history. Very imprint, traces of stigma Aceh Military Operation Area (DOM).

Color can be explored from the conflict following the track events, excerpted from the book History and Power of the Free Aceh Movement, Solutions, Hopes and Dreams, by Neta S. Pane and other sources:

August 22, 1945:
A number of leaders and fighters gather at house Aceh Teuku Abdullah Jeunib in Banda Aceh. Member of the Volksraad (parliament made in the Netherlands in Jakarta who became Resident Aceh), Teuku Nyak Arief present in the meeting. Young Politicians of thoughts, so that the people of Aceh, leaders, and fighters in Aceh supported Soekarno-Hatta.

August 23, 1945:
A total of 56 leaders present at the meeting continued in Shu Chokan (Resident Office Aceh, Aceh Governor's office now. Tengku Muhammad Daud Beureueh not present. Nyak Arief took the Koran and standing. "By Allah, Wallah, Billah, I will be faithful to defend the independence of the Republic of Indonesia until my last drop of blood ". Teuku Muhammad Ali Polem follow, until all participants perform similar oath. Former Chief of Police in Aceh, Hussein Naim and Mohammad Amin Bugeh flying the flag. Nyak Arief was appointed as Governor of Aceh a few days later.

15 September 1945:
Cumbok Teuku Muhammad Daud, commander Village Cumbok son, born in 1910, opposed the independence of Indonesia in Aceh. Aceh's independence fighters, led Sjamaun Gahara headquarters raided David Cumbok. David Cumbok touted died. Known as "The events Cumbok", this is the first time the conflict between pro-RI with his opponents.
Group led by pro-Indonesian scholars, while opponents of joining the RI driven commander with power center in Bireun, Aceh Utara. In this area later known as the base Free Aceh Movement (GAM) after Hasan Tiro abroad. Previously, the central GAM in Pidie. Hasan Tiro new war could be overcome late 1946. This event is actually an anticlimax of their contention since the Dutch colonization (1910-1920).
June 16, 1948:
President Sukarno swear in the name of God to give the rights of the people of Aceh and compose their own households Islamic Shari'a compliant.

December 19, 1948:
The capital city of Indonesia moved from Jakarta to Yogyakarta. Soekarno-Hatta pointed Syfruddin Prawiranegara establish the Emergency Government of the Republic of Indonesia (PDRI) in Bukit Tinggi North Sumatra. Tengku Daud Beureueh which became known as the rebel leader of Darul Islam / Indonesian Islamic Army helps emergency government.

December 17, 1949:
David Beureueh appearance Syfruddin welcomed to help other prominent scholars, among them Hasan Ali, father Gani, HM Nur E.L. Ibrahimy, and Teuku Amin. They lobbied Syfruddin Prawiranegara to establish Aceh province. Syfruddin agrees and Emergency Government issued Decree No. 8/Des/WKPH Kutaraja date, December 17, 1949. Beureueh Daud was appointed Military Governor of Aceh. However, the State Wali of North Sumatra, Tengku Dr. Mansur initiated Megara independence, separate from Indonesia. David Beureueh invited to meetings. Invitation distributed by the Dutch aircraft.

End of 1949:
David Beureueh adamant to support independence. In fact, mengalang fundraiser of the people of Aceh to finance the government of Indonesia. The past two months, raised $ 500,000. A total of $ 250,000 distributed to the Indonesian army, 50,000 dollars for RI office, $ 100,000 for the return of the government of Indonesia from Yogyakarta to Jakarta, and 1000 U.S. dollars handed over to the central government through the AA Maramis.
Then the people of Aceh collect 5 kg of gold to buy government bonds to finance the Indonesian representatives in Singapore, establishment Embassy in India and the purchase of two aircraft for transportation officials RI.

August 8, 1950:
Council of Ministers of the Republic of Indonesia (RIS) in Jakarta determined Indonesia divided into 10 provinces. Aceh Province who had been standing on December 17, 1949, was merged with the North Sumatra province, set out in the Regulation in Lieu of Law No. 5/1950 signed by Acting President Mr. Asaat and Interior Minister Susanto Tirtoprojo (Indonesian Nationalist Party leader / PNI).

January 23, 1951:
Prime Minister M. Natsir read a letter smelting province in RRI in Banda Aceh.

21 April 1953:
David Beureueh elected as Chairman of the Congress of Muslim Scholars in Indonesia in Medan. He asked all clerics to fight in the general election (the 1955 election so that the country of Indonesia to the Indonesian Islamic State (NII). Similar idea first coined by Kartosoewirjo on August 7, 1949 in West Java, known forces DI / TII. Later, he drafted 13 basic government NII.
21 September 1953:
David Beureueh proclaimed support Kartosoewirjo spearheaded the establishment of the NII.

23 September 1955:
Figure Aceh or Aceh People's Congress held Batee Krueng Congress. Beureueh Daud was appointed as Head of State and State Wali Aceh. Aceh Aceh as the State of confederation led Kartosoewirjo NII. Formed Chairman of the Shura Council (DPR) Husin Tengku Al Mujahid, the State of Aceh as many Cabinet ministers and nine Defence Regiment and Resistance seven regions.

27 September 1955:
Minister of State of Aceh held a special meeting. Indonesian government to send military troops for Operation August 19 and a special envoy of President Soekarno dialogue.

Januri 27, 1957:
Minister of Home Affairs Sunaryo Hasjmy inaugurated as Governor of Aceh Ali and Lt. Col. Sjamaun Agarwood as regional commander (Commander) Aceh. This inauguration marks the cancellation liquidation Aceh province. Both officials managed to gain the sympathy of DI / TII in Aceh.

July 1957:
Governor of Aceh military commander Ali Hasjmy and binding agreement with DI / TII in Aceh in "The Pledge Lam". Turmoil in Aceh subsided.
February 15, 1958:
David Beureueh joined the Revolutionary Government of the Republic of Indonesia (PRRI) and Permesta, and cut ties with DI / RII Kartosoewirjo. PRRI and Permesta with DI / TII in Aceh held a joint operation quell the Soekarno with password operation Sabang-Merauke.

December 1958:
DI / TII in Aceh Aceh send the Prime Minister, Hasan Ali in a meeting in Geneva. Hasan Tiro who was studying in the U.S. to attend the meeting in the capacity of Aceh youths who cares DI / TII. Hasan Tiro argue, Indonesia only nine of the ten states that are owned and initiated pendirikan United Republic of Indonesia.

May 16, 1959
Special Province of Aceh stand, Deputy Prime Minister of the Republic of Indonesia Mr. Hardi issued Decree No. 1/Missi/1959, it gives autonomy in education, religion and customs. This is thanks to a new Chronicle Aceh Governor Ali Hasjmy negotiations and the Revolutionary Council Leader Saleh Hasan Aceh. He was close to David Beureueh who defected to the tired excuse to fight and vote down the mountain.

February 8, 1960:
United Republic of Indonesia was established with Syfruddin Prawiranegara and Vice President Tengku Daud Beureueh. Join former Prime Minister of the Republic of Indonesia M. Natsir and Burhanuddin Harahap. Even Sumitro Djojohadikusumo joined in the body PRRI. Sukarno retaliated and launched Operation August 17 and Operation Merdeka.

April 1961:
North Sumatra PRRI figures Mauludin Simbolon "divorce" with the United Republic of Indonesia and the Government establish martial law.
August 25, 1961:
President of the United Republic of Indonesia, Syfruddin Prawiranegara surrendered to RI in Mulberry, North Sumatra. Followed by M. Natsir. David Beureueh were invited by letter twice, refused to trace its president. In fact, he proclaimed Islamic Republic of Aceh, replacing the United Republic of Indonesia. Defence Minister Gen. A.H. Daud Nasution Beureueh persuaded to return to the bosom of RI and promises full rights of the people of Aceh implement Islamic law.
December 22, 1962:
Council held a moment of reconciliation in Aceh People's Harmony (MKRA) and birth Pledge Blangpadang. David Beureueh receive peace and an end (1964) NII rebellion or the Islamic Republic of Aceh. Acehnese people while enjoying the peace at the cost of the lives of their siblings 4000-5000.

1972:
David again gathered strength Beureueh DI / TII to mobilize resistance and the central government sent Zainal Abidin (Ministry of Home Affairs Government of Aceh Islamic State) picked his brother, Hasan Tiro in Colombia U.S.. Hasan Tiro warmly welcomed and declare all weapons had been prepared.

May 20, 1977:
Free Aceh Movement (GAM) was proclaimed in reaction to government policies of President Suharto who established multinational projects in Aceh since 1970. This new movement publicly sticking to the rank of corporal in 1989 when deserters, Robert Lift warlords calling themselves the Free Aceh Movement (AGAM) and stole 18 guns ABRI ABRI staged in the Village (AMD).

May 24, 1977:
GAM leaders to form a cabinet and David Beureueh propose Hasan Tiro and GAM Wali As Chairman of the State of Aceh. GAM leaders had opposed the appointment of another because of Hasan Tiro was not present at the meeting. However, finally able to accept the proposal of David forum Beureueh.
Development, not only GAM leader Hasan Tiro. Goddess of whom Tengku Ahmad (1949-1991) and Tengku Bantaqiah (1952-1999). Goddess opposite Ahmad Hasan Tiro, lost is unknown jungle. There are rumors the military wiped out in 1991 and there are allegations by supporters of Hasan Tiro because this figure ever issued a fatwa death penalty. Tengku Bantaqiyah shot indiscriminately by 200 troops on July 23, 1999 in Masjid Pondok Pesantren Al Bantaqiyah.

December 1977:
Abdullah Syafei known as the Indonesian Democratic Party Chairman District Commissioner Lembutu Aceh Pidie. Persistence makes Lembutu "Cage Bull" beat Golkar in the 1977 elections. He was being chased and took shelter in the GAM leaders and finally officially join this movement.
Early 1978:
TNI conduct ambushes, Syafei Abdullah et al. fled to Malaysia, Thailand until finally stranded in Libya.

1983-1987:
Syafii Abdullah returned to Aceh in 1983. He consolidated the power of movement. 1987, appointed him Commander Hasan Tiro GAM. The next year, he publicly declared his appointment Aceh.

Early 1989:
A total of 11 fighters of Libya ex-founded the Assembly Government (MP) in Kuala Lumpur GAM led Husaini and secretary Tengku Don Zulfadli, declared Aceh's independence in 2004. Hasan Tiro (77 years old at the time) was angry and pulled them from GAM membership. Zulfadli shot dead his June 1, 2000.

1989-1998:
President Soeharto policy Aceh a military operations area is password on request Operation Red Net Aceh Governor Ibrahim Hasan. The death toll was estimated 4,000-5,000 people. Another source said 8,344 people were killed.

August 7, 1998:
President Habibie revoked Aceh's status as a DOM.
5 January to 5 March 1999:
TNI Authority operation 1999. A total of 730 souls of the people of Aceh and 170 officers were killed.

March 24, 1999:
Students formed the Aceh Referendum Information Center (SIRA) to raise the General Assembly Fighter Community Referendum (SUMPR) in Baiturrahman Mosque. SIRA, political institutions menapai Aceh independence struggle.

December 2000:
Ahmad Cage appears as a GAM commander. He was killed by military bullets.
December 4th, 1999:
GAM celebrate birthdays openly led by Abdullah Syafei.

January 16, 2000:
Syafei Abdullah reportedly shot. MPR GAM in Kuala Lumpur denied. Abdullah Syafei was actually still alive.

29 November 2000:
President Abdurrahman Wahid invited intellectuals, scholars and students to the Presidential Palace. Present Sofyan Ibrahim Tiba (Universitas Muhammadiyah Aceh), Naimah Hasan, Tengku Bayhaqi (Islamic boarding schools and Scholars Association Advisory Taliban), M. David Yoesoef (Syah Kuala University). Agreed settlement through dialogue Aceh TNI and GAM. Both sides agreed to appoint a mediator Henry Dunand Centre (HDC) as a mediator.
a glimpse of why and why with Indonesia, Aceh, Gam, DOM and conflict - is taken from the minds of the people. taken from a blog website.




Teungku Ahmad Dewi

Tengku Ahmad Dewi birth Idi Cut, Aceh Timur was a prominent cleric preacher (dai), a scholar who dared to firmly oppose government policies that conflict with Islamic law. He forbids Acehnese children memorize Pancasila before Alif Ba ta good at reading, because according to him first down command studying religion than practice Pancasila.

Tengku Muhammad Husen his father's name, and the birth mother Goddess Peudagee, North Sumatra, he took his mother's last name from the name of the Goddess, so that he is better known by Ahmad Dewi. His grandfather was a scholar of fiqh Hasballah who holds a prominent Tengku Tengku Chik in meunasah Beetle. From small he studied Islam at the Islamic boarding school (pesantren) and the last registered as students of Pesantren Abdul Aziz Abu Samalanga. He is the leader of Pesantren BTM Bantayan Idi Cut, East Aceh.

As a famous preacher he was invited to almost every corner of the villages throughout Aceh and in his message always contains subtle allusions to the government to change policies that do not favor the little people and asked that imposed Islamic law in Aceh. He was with his Red Army Barisan banish youth who are not mahram who sat alone together on the beach Idi Cut. He preached seven days and seven nights with invited scholars throughout Aceh to look for a solution upholding Islamic law in Aceh.

Finally he was accused of treason (undermining ideology Pancasila) and many times out of jail, in prison, he was still preaching invites inmates to repent to Allaah. Every time he was in court proceedings is always filled with hundreds of thousands of mass for the trial meyaksikan the dai. Aceh during standby status, Operation Red Net launched in Aceh, Tengku Ahmad Dewi (the famous preacher) to this day has never appeared again on the podium meyeruakan for the establishment of Islamic law in Aceh. Although Tengku Ahmad Dewi was gone, his loyal followers have always fought for Aceh imposed Islamic law, and the government finally announced the Islamic law be enforced in the earth's Veranda of Mecca. Tengku Ahmad Dewi as prominent pioneer Islamic law in Aceh to this day unknown grave.

Translated From : http://id.wikipedia.org/wiki/Teungku_Ahmad_Dewi



Hingar-bingar perpolitikan di Aceh kini kian memanas sejak legislatif mensahkan Qanun (Perda) Nomor 3/2013 tentang bendera dan lambang daerah itu.Sebuah kalimat “harga mati” untuk sehelai bendera sebagai lambang daerah juga terucap dari pemuda yang ambil bagian dalam aksi konvoi “bendera bulan bintang” pekan lalu di Kota Banda Aceh.
Desain bendera Aceh itu yakni bulan bintang bergaris hitam putih dibagian bawah dan atas di atas sehelai kain merah tua seperti tertuang dalam Qanun tersebut disahkan DPR Aceh pada 25 Maret 2013.
Namun qanun itu juga menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat termasuk Pemerintah Pusat karena mirip dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) semasa konflik.
Kemudian, masyarakat yang kontra juga menggelar demontrasi seperti di Meulaboh (Aceh Barat), Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Gayo Lues dengan cara berkonvoi sambil membawa bendera merah putih.
Masyarakat yang kontra menolak qanun dengan alasan atas kecintaan mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan menilai bendera bulan bintang dan lambang Aceh akan mengancam eksistensi NKRI.
Tapi, gelombang massa yang pro qanun Nomor 3/2013 juga "berikrar" bahwa mereka cinta NKRI, dan bulan bintang bukan isyarat sebuah bendera bahwa Aceh terpisah dari Republik Indonesia.
Namun Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan qanun tentang bendera dan lambang Aceh masih dalam proses, karena perlu penjaringan aspirasi masyakarat.
"Kami sudah mengevaluasi qanun tersebut. Hasil evaluasi sedang diproses oleh Pemerintah Aceh dan DPR Aceh," katanya di Banda Aceh.
Mendagri juga mengharapkan Pemerintah dan DPR Aceh melakukan penjaringan aspirasi masyarakat kembali terkait substansi yang diatur dalam qanun bendera dan lambang tersebut. "Intinya, proses hukum qanun ini harus berjalan sebagaimana mestinya," kata Mendagri.
Karenanya Pemerintah dan DPR Aceh diberi waktu 15 hari untuk menindaklanjuti hasil evaluasi itu. Hasil evaluasi itu nantinya diserahkan kembali ke pemerintah pusat. Sementara itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, masalah bendera dan lambang daerah bukanlah ranah politik sehingga penyelesaiannya dilakukan melalui proses yang sudah diatur dalam perundang-undangan yang ada.
"Tentang isu dan lambang daerah bukan wilayah politik, itu wilayah ketentuan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan hukum yang berlaku," kata Presiden.
Kepala Negara berharap hasil pembicaraan Mendagri dengan pihak di Aceh dapat membawa pemahaman yang positif."Harapan saya, pembicaraan itu berakhir dengan baik kembali sesuai dengan ketentuan UUD, UU dan peraturan yang berlaku, kemudian segala sesuatunya bisa kita selesaikan dengan baik," katanya.
"Saya tidak ingin kita mundur ke belakang dan saya tidak ingin ada masalah-masalah baru yang sebenarnya tidak diperlukan karena kita harus bersatu dan bersama-sama menyelesaikan pembangunan di Aceh menuju ke kehidupan masyarakat Aceh yang aman, tenteram, dan damai tetapi lebih spesifik lagi sejahtera," kata Kepala Negara.
Presiden mengatakan dalam waktu dekat akan mengundang Gubernur Aceh Zaini Abdullah untuk bertemu. "Saya akan mengundang Gubernur Aceh untuk membicarakan ini bagaimana kita justru bersatu bersinergi untuk memajukan Aceh, agar Aceh tetap tenang dan damai, agar Aceh bisa membangun masyarakat dan daerahnya dan kesejahteraan rakyat bisa terus ditingkatkan. Itu yang harus saya ingatkan kepada seluruh pihak, termasuk saudara-saudara kita yang ada di Aceh," katanya.
Presiden menegaskan pihaknya telah mengeluarkan amnesti kepada seluruh anggota GAM. Dan kemudian tentunya pikiran-pikiran yang bisa ditafsirkan sebagai kelanjutan gerakan pemisahan diri itu juga harus dihentikan. "Di situ lah kita harus meletakkan bagaimana isu lambang daerah di Aceh ini, saya masih berharap dalam satu dua minggu itu selesai dan kemudian tidak ada lagi gangguan apapun atas masalah-masalah itu," ujar Kepala Negara.
Merah putih
"Yang jelas Merah Putih harus berkibar di seluruh Tanah Air, itu bendera kita dan daerah bisa saja memiliki lambang tetapi sesuai ketentuan yang berlaku, ketentuan UU, semangat serta jiwa bahwa hanya ada satu bendera kedaulatan kita, yaitu sang Merah Putih," kata Yudhoyono menegaskan.
Sementara itu Gubernur Aceh Zaini Abdullah akan memperjuangkan bendera dan lambang Aceh seperti yang telah disepakati eksekutif dan legislatif sampai disetujui Pemerintah Pusat.
Muzakir Manaf, Ketua Partai Aceh, salah satu partai politik lokal yang sebagian besar anggotanya mantan kombatan GAM itu pihaknya juga akan memperjuangkan di Jakarta agar produk hukum yang telah disepakati itu disetujui Pemerintah Pusat.
"Kami akan bertemu Presiden dan terus membangun komunikasi dalam memperjuangkan bendera dan lambang Aceh," kata Muzakir Manaf yang juga Wagub Aceh itu.
Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso mengingatkan pimpinan dan tokoh masyarakat Aceh untuk tidak mengibarkan bendera Aceh yang menimbulkan berbagai persoalan sosial."Saya mengimbau gubernur dan anggota DPR Aceh mengehentikan pengibaran bendera Aceh selama proses evaluasi dari pemerintah pusat," katanya menjelaskan.
Menurut Priyo, pimpinan dan tokoh masyarakat Aceh, seperti gubernur dan wakil gubernur, muspida, serta anggota DPR Aceh, lebih baik menggunakan energinya utuk memelihara kedamaian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Ia meyakini masyarakat Aceh lebih menginginkan kondisi di daerah tersebut damai dan sejahtera.
"Setelah DPRA menyetujui qanun mengenai bendera Aceh dan kemudian dikibarkan di ruang publik, menimbulkan berbagai persoalan sosial. Apalagi bendera tersebut mirip dengan oragnisasi separatis di Aceh," katanya.
Menurut dia, qanun di Aceh setara dengan peraturan daerah tingkat provinsi sehingga harus tunduk pada aturan perundangan yang lebih tinggi yakni undang-undang dan konstitusi.
Revisi Qanun
Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) mengusulkan revisi pasal 4 dan pasal 17 terhadap Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, demi kemaslahatan semua pihak."Terkait klarifikasi dari Mendagri terhadap qanun tersebut maka mengajukan usulan revisi terhadap pasal 4 dan pasal 17 dalam qanun itu," kata Ketua YARA Safaruddin.
Disebutkan, dalam pasal 4 Qanun Nomor 3/2013, makna bendera Aceh seperti dimaksud pada ayat (1) adalah dasar warna merah, melambangkan jiwa keberanian dan kepahlawanan. Kemudian garis warna putih, melambangkan perjuangan suci.
Selanjutnya garis warna hitam yang melambangkan duka cita perjuangan rakyat Aceh. Kemudian bulan sabit berwana putih, melambangkan lindungan cahaya iman serta bintang bersudut lima berwarna putih, melambangkan rukun Islam.
Untuk revisi pasal 4 diusulkan bahwa makna bendera Aceh seperti dimaksud pada ayat (1) adalah warna dasar hijau yang merupakan warna kesukaan Nabi Besar Muhammad SAW dengan melambangkan perdamaian kesejukan dan kesejahteraan.
Kemudian, bulan sabit dan bintang yang merupakan simbol keislaman masyarakat muslim dimana Aceh menjadikan syariat Islam sebagai landasan dan pedoman hidup kemasyarakatan.
Selanjutnya, pedang Aceh yang merupakan simbol keadilan dan kepahlawanan serta sejarah kesultanan Aceh yang gemilang pada masa itu.
Sementara pasal 17 Qanun Nomor 3/2013 tentang Lambang Aceh berbentuk gambar terdiri dari, singa, bintang lima, bulan, perisai, rencong, buraq, rangkaian bunga, daun padi, semboyan "Hudep Beusare Mate Beusajan" dalam tulisan jawi (melayu), huruf "ta" dalam tulisan Arab, dan jangkar.
Makna lambang Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah singa, melambangkan adat bak Poteu Meureuhom. Bintang lima, melambangkan rukun Islam. Bulan melambangkan cahaya iman. Perisai, melambangkan Aceh menguasai laut, darat dan udara.
Kemudian rencong, melambangkan "reusam" Aceh. Burak melambangkan hukum-hukum pada Syiah Kuala. Rangkaian bunga melambangkan Qanun bak Putroe Phang.
Selanjutnya daun padi melambangkan kemakmuran. Semboyan "hudep beusare mate beusajan" bermakna kerukunan hidup rakyat Aceh. Kemudian kepemimpinan Aceh berasaskan musyawarah dan mufakat oleh "Majelis Tuha Peuet dan Majelis Tuha Lapan".
Kemudian, huruf "ta" dalam tulisan aksara Arab bermakna pemimpin Aceh adalah umara dan ulama yang diberi gelar tuanku, teuku, tengku dan teungku. Jangkar bermakna Aceh daerah kepulauan.
Pasal 17 Qanun Nomor 3/2013 yang diusulkan revisi yakni lambang Aceh berbentuk gambar terdiri dari burung merpati, timbangan, pintu Aceh, Al-Quran, Rencong, padi dan kapas, bannaer "Nanggroe Aceh Darussalam".
Makna lambang Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut, burung merpati melambangkan perdamaian sebagai wujud keihklasan dan ketulusan dalam memelihra perdamaian Aceh.
Timbangan melambangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Aceh. Pintu Aceh bermakna keterbukaan dan persatuan seluruh suku-suku di Aceh. Al Quran melambangkan pedoman dan tuntunan hidup Islam rakyat Aceh dalam syariat Islam.
Selanjutnya rencong melambangkan kepahlawanan dan ikatan sejarah yang kuat antara rakyat Aceh dengan para pendahulu dimasa kejayaan kesultanan Aceh.
Padi dan kapas melambangkan kesejahtraan sosial bagi seluruh rakyat Aceh. Banner Nanggroe Aceh Darusalam melambangkan simboyan dan keinginan rakyat Aceh untuk hidup damai sejahtera.
Lambang Aceh seperti tertera pada ayat (1) menggunakan warna dasar putih, kuning, kuning keemasan, hijau muda, hijau tua dan kelabu.
"Kami berharap usulan tentang bendera dan lambang Aceh agar dapat dipertimbangkan oleh Mendagri sebagai masukan kesempurnaan Qanun Nomor 3/2013," kata Safaruddin. Dari semua itu, namun yang mendesak diperlukan mayoritas masyarakat Aceh adalah "Serambi Mekah" yang aman, damai, sejahtera dalam NKRI. (ant )




Korupsi adalah perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dari definisi tersebut jelas terlihat korupsi merupakan suatu tindakan keji, tidak mengedepankan sikap yang Islami. Makanya korupsi layak disebut kejahatan luar biasa atau penjajahan ala modern. Karena dengan korupsi rakyat kehilangan kesempatan untuk menikmati haknya, kesejahteraan.

Korupsi atau yang sering disebut “white collar crime” atau kejahatan kerah putih merupakan suatu kejahatan yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat, roda pemerintahan dan menghambat pembangunan. Korupsi juga merupakan wabah penyakit yang sangat sulit diberantas. Banyak bukti yang bisa menguatkan hal itu, salah satunya terlihat dari putusan bebas terhadap terdakwa korupsi dengan alasan telah mengembalikan kerugian negara. Padahal jelas-jelas dalam aturan disebutkan mengembalikan kerugian negara tidak menghapuskan tindak pidana.

Virus korupsi yang merebak subur di Indonesia, juga telah menjangkiti Aceh, kurang dari 25% dana pembangunan Aceh telah bocor terserang virus ini. Walaupun peringkat korupsi Indonesia telah menurun 10 tingkat dari ranking 110 pada 2010 ke ranking 100 pada 2011 dari 183 negara di dunia berkat kerja keras Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun dibandingkan dengan kasus korupsi yang terjadi di belahan dunia lainnya, termasuk negara ASEAN, korupsi yang terjadi di Indonesia terbilang parah. Indonesia kalah telak dibandingkan dengan Singapura, Malaysia dan Thailand dalam menciptakan negara bebas korupsi. Indonesia telah gagal menciptakan good governance dan clean government. (www.aceh.tribunnews.com)

Di Indonesia, korupsi adalah peristiwa jamak. Dalam berbagai forum seminar dan diskusi, korupsi menjadi topik yang tetap hangat untuk dibicarakan. Media kita dipenuhi berita-berita para Kepala Daerah atau bahkan para Legislatif yang tersangkut kasus ini. Para pemimpin instansi pemerintahan aparatur Negara, bahkan civitas akademika tak luput dari jaring laba-laba kasus korupsi. Akar kejahatan korupsi telah mewabah dan menyentuh hampir seluruh lapisan masyarakat. Hukum yang seharusnya menjadi salah satu tonggak dalam memberantas penyakit sosial ini hanya dapat bersikap normatif. Pertanyaannya bagaimana masa depan Indonesia jika seluruh elemen masyarakat Indonesia tidak melakukan perang terhadap korupsi?

Menjadi salah satu tanggung jawab bagi kita untuk tidak pernah lelah menyuarakan antikorupsi. Saat ini Negara kita sedang mengalami krisis keteladanan, untuk itu kita dituntut memberikan bekal kepada para generasi muda yang kelak akan menjadi penerus cita-cita bangsa. Ditangan mereka terletak harapan besar masa depan Indonesia yang bebas dari korupsi.

Note :
*bahan ini sebagai acuan untuk pelaksaan kegiatan seminar anti korupsi yang sempat gagal mengundang abraham samad sebagai pemateri seminar yang dilaksanakan Oleh HMI Cabang Lhokseumawe pada Desember 2012


Otonomi Khusus (OTSUS) adalah pola relasi antara pemerintah pusat dan daerah karena sebab-sebab khusus. Sebuah daerah menerima wewenang, lembaga dan keuangan yang berbeda dengan daerah lain. Pola relasi ini juga dikenal dengan Desentralisasi asimetres yang lazim terjadi di negara kesatuan sejak 1950 sejak mengatur Jogjakarta.

Pola otonomi khusus sudah dikenal sejak awal Reformasi melalui Tap MPR IV/1999 yang kemudian diwujudkan dalam UU 18/2001. Namun sangat disayangkan otsus yang sempat diberikan tersebut terhambat sebab masih tingginya konflik bersenjata dan belum tuntasnya masalah identitas di Aceh.

Setelah kesepahaman antara GAM dan RI yang dikenal dengan MoU Helsinky berlangsung, Titik ideal Otsus Aceh kembali dirumuskan melalui UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Pada tahun 2008 otsus aceh baru dapat direalisasikan dengan suntikan dana khusus yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah Aceh sebesar 650 Triliun yang akan digunakan hingga tahun 2027. Akankah dana sebesar itu dapat segera memulihkan kondisi masyarakat yang menderita akibat konflik yang berkepanjangan. Tentu menjadi Pekerjaan rumah seluruh elemen sipil dalam menjawab besarnya tantangan Pemerintah dalam mengelola anggaran  agar tepat guna. Keraguannya dikarenakan daerah yang sedang menyandang daerah kedua terkorup di Indonesia. Maka sudah sepantasnya terbentuk tim khusus yang terus memantau pencapaian target terhadap program dan anggaran yang sesuai dengan apa dicita-citakan masyararakat aceh seluruhnya.

Berdasarkan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Dana Otsus merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Namun, apakah sektor pendidikan mampu turut serta dalam membangun Aceh dengan dana 30% dari pendapatan daerah?

Awalnya DPRA sepakat, pengelolaan dana otsus 60 persen dikelola oleh kabupaten/kota dan lebihnya 40 persen dikelola oleh provinsi. Namun pada bulan 12 tahun 2012 DPRA kembali mengubah pengelolaan dana otsus 40 persen untuk kabupaten/kota dan 60 persen untuk provinsi. Hal ini tentu tidak bisa diterima oleh pemerintah kabupaten//kota karena hanya diputuskan sepihak dan tidak akan mencapai target yang diinginkan. Karena berhasil tidaknya realisasi dana otsus tergantung bagaimana program-program yang menggonjot penentasan kemiskinan, beasiswa dan pengobatan gratis atau kesehatan masyarakat dapat terjawab dengan baik.
Dana otsus yang telah diberikan kepada Aceh dalam empat tahun terakhir untuk beberapa hal telah digunakan meningkatkan kesejahteraan. Setiap tahun pemerintah Aceh menganggarkan sekitar Rp 400 miliar untuk menjamin seluruh penduduk Aceh memiliki KTP dan KK Aceh dalam skema asuransi. Ini langkah maju dalam sistem kesehatan nasional yang selama ini didasarkan pada pola residu dan bukan universal.
Dana otsus juga telah membantu ribuan anak korban konflik dan pelajar Aceh mengenyam pendidikan gratis melalui skema beasiswa di dalam dan luar negeri. Meski demikian, pengelolaan dana otsus Aceh masih dibarengi dengan lemahnya kapasitas ”memerintah” pemerintah Aceh. Ini terlihat dari tingginya anggaran yang tak dipakai: sekitar Rp 1 triliun per tahun akibat buruknya relasi provinsi-kabupaten/ kota dalam pengelolaan dana otsus.
Dari sisi wewenang, pemerintah pusat lalai memberi PP yang menjadi turunan UUPA, terutama terkait pengelolaan sumber daya. Rakyat Aceh menunggu PP tentang Badan Pertanahan Nasional Aceh yang menjadi bagian dari Pemerintah Aceh yang berbeda dengan provinsi lain. PP yang seharusnya diterbitkan pada 2008 sampai sekarang belum ada drafnya. Isu lain yang ditunggu terkait dengan migas dan kehutanan. Muncul kesan kuat, otsus yang dijanjikan mirip dengan kepala dilepas, ekor tetap dipegang. Terganggulah upaya percepatan kesejahteraan.
Dari sisi kelembagaan, pembentukan yang memfasilitasi hidupnya kembali lembaga adat dan lembaga syariah telah meredam cukup signifikan masalah di tingkat rakyat. Lembaga adat mulai dari tingkat gampong sampai provinsi, meski tak memiliki hak veto dalam politik lokal, telah mampu jadi penasihat penting dalam pembangunan berkesejahteraan. Salah satu ganjalan hanyalah posisi Wali Nanggroe yang merupakan lembaga yang muncul pada saat konflik.
Di tengah kekurangan itu, secara umum otsus Aceh telah mengarah kepada penciptaan kesejahteraan. Dengan mekanisme pengawasan yang lebih tertata dan keseriusan mengelola asimetrisme lewat regulasi yang lebih teknis, Aceh tak butuh waktu lama bersaing dengan provinsi lain di Indonesia. 
m

*Disusun sebagai acuan dasar Kegiatan SEMINAR OTSUS dan MASA DEPAN ACEH dalam Pembukaan Intermediate Training (LK II) HMI Cabang Lhokseumawe.

Rabu, 07 Agustus 2013




Oleh : Ade Akhmad Ilyasa' dan Muhammad Nasrullah 

Sebagaimana Provinsi lain di Indonesia, pemerintah Aceh tampaknya harus terus bergulat untuk memperbaiki pengelolaan sumberdaya hutan yang kemampuannya terus menurun. Terlepas dari upaya-upaya yang telah dan akan dilakukan, Aceh masih menghadapi masalah-masalah nyata menyangkut ekosistem hutan primer dan sekunder yang berada di bawah ancaman luar biasa baik oleh industri-industri besar, para pengusaha kayu, para mafia dan oknum pembalakan kayu maupun berbagai ulah sebagian kecil masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan.
Secara ekologis, hutan Aceh mempunyai keanekaragaman ekosistem yang sangat kaya dengan berbagai keanekaragaman hayati yang yang dapat ditemui di Taman Nasional Gunung Leuser. Dengan kondisi ini Taman Nasional Gunung Leuser ditetapkan oleh UNESCO sebagai World Heritage. Selain Gunung Leuser, semua kawasan lindung di Aceh dan hutan Aceh pada umumnya menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat kaya, baik tumbuhan maupun hewan. Di samping itu, hutan Aceh khususnya kawasan ekosistem Leuser diyakini menjadi areal penyerapan debu dan karbon yang cukup besar sehingga keberadaannya sangat berkontribusi dalam mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim. (Saodah Lubis, 2006).
Implikasi penting bagi pelestarian hutan Aceh saat ini adalah pergeseran alasan pengundulan hutan akibat alasan kemiskinan ke alasan perusahaan. Modus dari perusakan hutan di era ini akan berubah. Orang-orang miskin di desa tidak lagi dominan sebagai pelaku perusakan hutan, pengundulan hutan secara substansial digerakkan oleh industri-industri besar dan globalisasi ekonomi, melalui penambangan timah hitam, bijih besi, emas, kapur dan bahan baku semen, dan eksploitasi mencari material-material bernilai tinggi lainnya yang menjadi sebab-sebab mengerikan dari hancurnya hutan Aceh. (Afrizal Akmal, 2009).
Laporan terakhir yang disampaikan oleh Yayasan Leuser Internasional menyebutkan bahwa hasil perhitungan dan kajian berdasarkan analisis Sistem Informasi Geografis Citra Landsat ETM+ tahun 2006-2009 menunjukkan bahwa kerusakan hutan Aceh mencapai sekitar 92.600 ha, di mana 34 persennya atau 31.280 berada pada kawasan hutan lindung, meskipun kemudian dibantah bahwa kerusakan bukan berada pada kawasan hutan lindung, melainkan pada kawasan hutan dengan alasan yang tidak begitu jelas (Serambi Indonesia, 18/02/2011 dan 19/02/2011).
Jika ditarik lebih jauh, kebijakan moratorium logging diambil karena hutan Aceh berada pada posisi yang cukup memprihatinkan, setiap harinya kita kehilangan hutan dua kali lipat luas lapangan sepakbola atau setara 20.796 per tahunnya, laju kerusakan ini salah satunya dipicu oleh aktivitas illegal logging yang terus terjadi, tahun 2006 tertangkap 120.209,50 meter kubik kayu sitaan dari hasil illegal logging, angka ini mengalami kenaikan empat kali lipat dari tahun sebelumnya sekitar 33.249,25 meter kubik. Padahal angka kayu sitaan tersebut jika ditaksir hanya sekitar 2% dari total tebangan ilegal yang terjadi di hutan Aceh. Kerusakan hutan akan menimbulkan multiplier effect, salah satunya adalah bencana banjir dan tanah longsor, lihat saja angka statistik kerugian akibat banjir dan longsor. Jumlah kejadian atau intensitas banjir juga mengalami kenaikan dari tahun 2005, yaitu dari 30 kejadian menjadi 39 kejadian pada tahun 2006, atau rata-rata tiap bulannya terjadi 3-4 kali bencana banjir dan longsor.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, dampak kerugian banjir dan longsor cukup menguras Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Aceh (APBA), banjir pada tahun 1996 menimbulkan kerugian Rp 174 miliar, tahun 2000 kerugian akibat banjir menembus angka Rp 800 miliar, dan tahun 2006 banjir tamiang menyebabkan kerugian Rp 2 triliun, jika dibandingkan dengan pendapatan akumulasi dari sektor kehutanan terhadap PDRB Aceh selama tahun 1993-2001 hanya sekitar Rp 362 milyar atau rata-rata sekitar Rp 45 miliar per tahun. Anggaran APBA tahun 2007 sebesar kurang lebih Rp 19 triliun, termasuk anggaran rekonstruksi Rp 9,7 triliun, maka anggaran bersih yang diterima Pemerintah Aceh kurang lebih Rp 10 triliun, jika kemudian harus menutupi tekor banjir tamiang Rp 2 triliun, artinya 20% anggaran Aceh tahun 2007 praktis hanya digunakan untuk recovery banjir dan longsor.
Berbagai organisasi melaporkan kejadian penebangan liar, tetapi sebagian besar dari mereka tidak punya kemampuan untuk mengambil tindakan nyata. Berbagai workshop telah diadakan oleh berbagai lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat lokal maupun lembaga-lembaga pemerintah untuk membahas isu ini dan menyusun paper rencana tindakan serta usulan kebijakan. Kondisi lingkungan hidup sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan dengan kecenderungan yang terus menurun, ini merupakan tantangan serius yang sedang dihadapi dunia.
Penyebab utamanya adalah, karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan. Hal ini terjadi mengingat kelemahan kekuatan politik dari pihak-pihak yang menyadari pentingnya pengelolaan lingkungan hidup. Perjuangan untuk melestarikan lingkungan pun hanya didukung sekelompok kecil kelas menengah yang kurang mempunyai kekuatan politik dalam pengambilan keputusan. Seperti kelompok-kelompok peduli lingkungan, organisasi non-pemerintah, individu yang aktif dalam pelestarian lingkungan dan kritis terhadap kebijakan- kebijakan yang merugikan lingkungan, serta kalangan akademisi.
Semestinya, pelestarian lingkungan perlu mendapat dukungan dari kekuatan-kekuatan politik primer. Pemerintah perlu memiliki kemampuan ketataprajaan di bidang lingkungan hidup (good environmental governance), agar mampu menjawab tantangan dari masyarakat yang sudah diberdayakan. Kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan lingkungan hidup telah digulirkan, misalnya program untuk mitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan melalui skema Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan (REDD). Ini pun masih harus ditelaah kembali, apakah mampu memberikan dampak positif bagi masyakat dan lingkungan itu sendiri. Untuk itu pemerintah Aceh perlu segera mengevaluasi serta merumuskan ulang berbagai strategi dan kebijakan terkait perlindungan dan penyelamatan hutan Aceh, sehingga benar-benar dapat dimplementasikan secara baik dan nyata. Semoga cita-cita pemerintah Aceh dan kita semua untuk mewujudkan hutan lestari yang menyejahterakan masyarakat bukan hanya sekadar bualan dan mimpi indah bagai lantunan puisi indah tanpa makna, hilang tak berbekas di telan wacana hiruk pikuk PILKADASUNG yang penuh tolak tarik kepentingan politik kekuasaan belaka.

Keterlibatan Lembaga Internasional Berafiliasi Agama Dalam Penanganan Bencana Di Indonesia


Pendahuluan
Pada saat bencana terjadi di sebuah wilayah atau kawasan tertentu (seperti bencana alam besar Tsunami Aceh 26 Desember 2004, Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006, Tsunami Pangandaran Jawa Barat 17 Juli 2006, Gempa Jawa Barat 2 Septermber 2009, disusul Gempa Padang 30 September 2009), selalu sesaat setelah bencana banyak sekali bantuan masuk dari berbagai lembaga dalam negeri maupunl uar negeri. Seut saja, di Aceh, setidaknya ada 579 lembaga dari dalam maupun luar negeri yang terdata, dari 579 lembaga tersebut ada puluhan lembaga keagamaan atau yang berafiliasi pada agama tertentu yang masuk dalam daftar tersebut. Lembaga yang berafiliasi agama tersebut antara lain : Catholic Relief Services (CRS), Jesuit Refuges Services (JRS), Mennonnite Central Committee (MCC), Caritas Chistian Children Fund (CCF), Cruch Corld Services (CWS), Action By Chruches Together International (ACT International), Lutheran World Relief (LWF), Salvation Army, Samaritan’s Purse, Yayasan Budha Tzu Chi Indonesia, Islamic Relief, Muslim Aid, Qatar Charity, The Saudi Charity, King Khalid Islamic College, Victoria Melbourne, Chatolic Organitation for Relief and Development Aid (CORDAID), Organization Catholic Agency for Orberseas Development (cofad), Christian Reformed World Relief Committee (crwrc), International Catholic Migration Commission (ICMC), dan caritas  (Contact/Directory List, Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias, April 2007). Dalam kasus Yogyakarta ada 437 lembaga yang dating dari dalam maupun luar negeri yang terlibat (UN OCHA- Contact Directory, 2006). Dijawa Barat tercatat 77 lembaga yang terlibat dalam penanganan pascagempa (Satkorlak PB West Java-Contact List, 2009), sedangkan di Padang ada 201 lembaga dari dalam dan luar negeri (Satlak Padang & UN-OCHA, 2009).
Banyaknya bantuan yang masuk ke sebuah daerah tidak serta merta mampu menyelesaikan masalah, tidak jarang sebaliknya, justru banyak persoalan yang muncul. Persoalan itu mulai dari lemahnya kordinasi yang dilakukan oleh pemerintah, lambannya bantuan, konflik antar penerima bantuan, sampai kepada persoalan “pemaksaan” atau upaya lembaga-lembaga asing yang berafiliasi kepada agama untuk mengajak dan “mempengaruhi” para korban masuk atau pindah keagama tersebut. Ajakan ini biasanya dilakukan dengan berbagai cara, ada yang melalui simbol-simbol keagamaan yang disertakan ke dalam bantuan, melalui cara bernyanyi, ceramah, hingga dengan cara bermain dengan anak-anak sambil memasukkan pesan-pesan keagaan kedalamnya.
Hal ini tentu sangat meresahkan dan mengganggu proses penyelamatan maupun proses pemulihan wilayah terdampak tersebut. Kejadian atau aktivitas seperti ini sangat mencederai prinsip-prinsip bantuan kemanusiaan pasca bencana. Pertama landasan bantuan kemanusiaan pasca bencana haruslah berlandaskan kepada segala upaya untuk meringankan penderitaan manusia yang diakibatkan  oleh bencana dan konflik. Kedua, mereka yang terkena dampak mempunyai hak terhadap kehidupan yang bermartabat termasuk dalam menerima bantuan (Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Merespon Bencana, Grasindo. 2006, 2). Siswanto, lebih jauh menyangkut alasan kemanusiaan ini menyatakan bahwa humanitarianisme adalah doktrin yang menekankan kesejahteraan manusia (Siswanto, 2005 : 2). Sobirin, juga memperkuat dan merinci prinsip bantuan kemanusaan pasca bencana ini dengan menyebutkan bahwa; pada hakekatnya setiap manusia berhak mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyeleggaraan penangggulangan bencana mendapatkan informasi secara tertulis dan / atau lisan  tentang kebijakan penanggulangan bencara berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana (Sobirin, 2008). Dan tentu harus dilengkapi dengan prinsip tanpa diskriminasi dan pembedaan Ras dan agama.
Yang menjadi alasan masuknya berbagai lembga asing ke sebuah daerah bencana salah satunya adalah alasan kemanusiaan, bahwa pemberian bantuan tidak punya mtif apapun selain hanya membantu meringankan korban bencana. Namun demikian, sepertinya motif ini tidak berlaku dalam setiap penanganan bencana karena selalu saja ada pihak-pihak memanfaatkan situasi kesusahan tersebut; apakah untuk kepentingan komiditi politik sematan, ajang penyebaran agama tertentu, sampai pada ajang bisnis semata. Seperti yang dikatakan oleh Irwan Abdulah bahwa bencana bagaimanapun, tetap  syarat nila karena memuat berbagai kepentingan, serta tujuan-tujuan dapat bevariasi (Abdullah, 2006; 21. Lebihjauh ditambahkan oleh Susetiawan bahwa banyak orang yang berteriak demi kemanusiaan, akan tetapi banyak juga yang membonceng kata kemanusiaan untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri (Susetiawan, 2007; xv).
Lalu bagimana sebenarnya keterlibatan lembaga-lembaga asing dalam setiap penanganan bencana, apakah benar mereka membantu demi alasa kemanusiaan, atau seperti yang digambarkan di atas, bahwa selalu saja ada motif lain dibalik bantuan yang masuk? Tulisan ini akan menggambarkan hal tersebut yang bersumber dari pengalaman keterlibatan langsung penulis dalam beberapa kasus penanganan bencana, baik di Aceh, Jogja, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera barat. Selain bersumber dari pengalam, tulisan ini juga didasarkan pada studi literatur dari berbagai sumber tertulis.
Keterlibatan Lembaga Berafiliasi Agama di Indonesia
            Seperti yang telah disampaikan bahwa banyak sekali lembaga asing yang berafiliasi kepada agama tertentu terlibat dalam berbagai penanganan bencana di indonesia. Jika kita membaca visi-misi dari lembaga-lembaga tersebut tentu sangat mulia. Di balik kemuliaan kata tersebut kadangkala tidak sejalan dengan apa yang mereka lakukan di dalam pelaksanaannya. Beberapa lembaga asing yang berafiliasi kepada agama tertentu mempunyai visi misi sebagai berikut : Chatolic Relief Services (CRS) mempunyai misi : mempromisi pembangunan manusia dengan merespon kedaduratan, melawan penyakit kemiskinan, memelihara keadadilan di dalam masyarakat, dan melayani umat khatolik amerika dengan kehidupan dan keimanan dalam solidaritas dengan saudara laki-laki dan perempuan di seluruh dunia (The Mission of CRS, 2009; www.crs.org). sedangkan misi dari Jesuit Refuges Services (JRS) untuk melayani keimanan dan meningkatkan keadilan untuk kerajaan Allah dengan dialog budaya dan agama (Piagam JRS, Paragraf 1). Misi JRS merangkul semua orang yang terusir dari rumahnya akibat konflik, bencana kemanusiaan atau pelanggaran hak asasi, menganut pengajaran sosial yang menerapkan pengungsi de facto dalam berbagai kategori manusia (Visi-Misi JRS, 2009; www.frs.or.id). Lebih jauh JRS menambahkan bahwa secara umum mereka  menjalin kerja sama yang baik dengan gereja setempat. Meskipun sebuah organisasi katolik, JRS indonesia melayani pengungsi dari berbagai kalangan, tidak selalu kristen atau anggota gereja katolik.
            Secara umum hampir semua lembaga tersebut menyatakan bahwa mereka akan melayani siapa saja yang memerlukan (tidak terbatas hanyak kepada agama mereka saja), seperti yang ditujukan oleh Lutheran World Relief (LWR). Yang menyebutkan bahwa mereka akan mencari solusi untuk memerangi kemiskinan, bekerja untuk perdamaian dan keadilan untuk semua, serta mempromisikan persamaan (LWR, 2009; www.lwr.org), ada juga Church World Services (CWS) yang mempunyai misi misi berjuang untuk pembangunan yang adil dan berkelanjutan di indonesia dengan meningkatkan kualitas hidup masyarakat indonesia yang miskin melalui penguatan institusi masyarakat dan peningkatan mata pencaharian dengan menggunakan strategi pemberdayaan. Bantuan diberika tanpa memandang ras, suku, kepercayaan dan pandangan politik (www.cwsindonesia.or.id).
            Di luar visi-misi tersebut ada juga lembaga asing yang secara terang-terangan menyebutkan bahwa mereka hanya akan melayani sesama umatnya, seperti yang disampaikan oleh Samarintan’s Purse International Relief, yang menyebutkan bahwa akan menyediakan dan melayani dengan bantuan spiritual dan fisik kepada orang yang terluka di seluruh dunia, korban perang, masyarakat miskin, korban bencana alam, penyakit dan orang kelaparan dengan juguan membagi kasih Tuhan melalui anak-anaknya,jesus christ. Sejak tahun 1870 organisasi  melayani geraja secara luas untuk mempromisikan ajaran jesus chirst.
            Di luar lembaga-lembaga di atas, tentu masih ada beberapa lembaga lain yang berafiliasi kepada agama tertentu. Secara umum keterlibatan lembaga-lembaga tersebut sudah cukup lama di indonesia, sebut saja JRS yang sudah ada di indonesia sejak tahun 1980 untuk pengunggsi Vietnam di pulau Galang, dan masuk kembali tahun 1999. Dalam Deklarasi resmi CRS sudah bekerja di Indonesia sejak 1957 (www.jrs.or.id). lwr sejak 2004, dan cws sudah bekerja di Indonesia sejak 1964 (Materi Presentasi CWS di Bappeda Bantul, 31 Juli 2009).
            Pada umumnya lembaga-lembaga yang telah disebutkan di atas semakin eksis dan besar di indonesia, akibat banyaknya bencana yang terjadi, terutama pasca tsunami di Aceh, bantuan dan dukungan dana yang mereka terima berlipat ganda dengan meningkatnya solidaritas masyarakat dari berbagai belahan dunia. Dengan banyaknya dana dan besarnya dampak bencana yang ditimbulkan, menyebabkan lemahnya proses pengawasan. Hal ini pula yang membuat lembaga-lembaga tersebut bergerak lebih leluasa menggunakan dana yang mereka miliki untuk kepentingan kemanusiaan maupun “kepentingan” terselubung masing-masing lembaga. Mobilisasi staf asing juga sangan mudah dilakukan dalam situasi bencana dengan alasan bantuan kemanusiaan.
Cara Kerja dan Bentuk Bantuan
Dalam melaksanakan aktivitas dan programnya lembaga tersebut di satu sisi biasanya senantiasa bekerja dengan mitra lokal, pemerintah lokal, gereja, LSM lokal maupun organisasi kemasyarakatan, bahkan dengan masjid dan organisasi islam. Di sisi lain biasanya lembaga ini juga melakukan kegiatan secara mandiri, dalam arti melaksanakan kegiatan tanpa mitra. Di sinilah biasanya timbul persoalan karena lembaga tersebut melaksanakan kegiatan tanpa ada yang mengawasi dengan baik. Program-program yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga asing sangat beragam mulai dari kegiatan tanggap darurat pascabencana sampai kepada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Program biasanya berpusat pada pemulihan perekonomian, pembangunan rumah sementara dan rumah permanen, sekolah, pasar, tempat ibadah, pembangunan sarana dan prasarana sanitasi dan air bersih, sampai pada kegiatan pemulihan anak dari trauma pascabencana melalui program trauma healing maupun program psikososial.
Dana yang dimiliki oleh lembaga asing juga sangat besar. Lembaga seperti CRS di Aceh mengucurkan dana sebesar 150 juga US dollar, atau sama dengan 1,5 trilliun rupiah untuk jangka waktu 5 tahun, sedangkan ACT apda tahun 2005 saja membarikan komitment sebesar 23 juta US dollar atau setara dengan Rp. 230 milliar (www.swaramuslim.com). Tentu angka ini hanya ingin menunjukkan betapa besarnya sumbangan lembaga asing yang berafiliasi agama dalam membantu korba bencana. Di luar lembaga ini tentu masih banyak lembaga lain yang memberikan komitmentnya walaupun tidak semua dana yang dijanjikan tersebut dikucurkan yang itu menjadi persoalan tersendiri.
Lalu bagaimana dengan sumbangan lembaga asing, yang berafiliasi agama islam? Sebut saja islamic relief yang hanya menyumbangkan bantuan untuk Aceh sebesar 14 juta euro atau Rp. 196 milliar lebih. Qatar Charity pada tahun 2008 mengucurkan dana sebesar Rp. 2.3 milliar untuk membangun rumah di Aceh (Qatar Charity, laporan tahun 2008 (www.qcharityid.org).
Analisis Ancaman: Perubahan Gaya Hidup
Pada dasarnya tidak ada yang salah dari bantuan dan keterlibatan lembaga asing yang berafiliasi pada agama tertentu, selama bantuan yang diberikan benar-benar atas dasar kemanusiaan. Seperti yang disampaikan oleh Graham Hancock bahwa organisasi-organisasi yang melayani orang-orang miskin atau lembaga sukarela memang didirikan untuk melayani pekerjaan terpuji di anatar kaum miskin (Hancock, 2005). Namun demikian, mereka juga tahu bahwa tentu saja bisa mengambil keuntungan dari munculnya situasi dahsyat untuk sementara waktu, meskipun itu tidak digunakan sebagai kepentingan pribadi dengan menggunakan mekanisme “Public Relation”
Biasanya wilayah yang terkena bencana terparah adalah wilayah miskin dan masyarakatnya berpendidikan terndah. Kondisi tersebutlah yang juga membuat banyak rumah dan fasilitas umum hancur karena gempa maupun banjir. Akibat kemiskinan struktur bangunan yang mereka bangun tidak tahan gempa karena dibangun seadanya dengan keerbatasan dana dan pengetahuan yang terbatas. Data-data yang terkumpul dari wilayah bencana bisa menunjukan hal tersebut. Misalnya pada gempa yang terjadi di Padang, Sumatera Barat, rumah hancur sebanyak 249.833 unit (Rencana Aksi, Rehabilitasi dan Rekonstuksi wilayah Pasca Bencana Gempa Bumi di Provisi Sumatera Barat 2009-2011). Sedangkan di Jawa Barat rumah rusak berjumlah rusak berat sebanyak 65.643 unit, rusak sedang 48.749 unit dan rusak ringan 130.024 (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2009)
Dari jumlah rumah rusak tersebut di atas rata-rata kerusakannya berapa pada wilayah pedesaan yang miskin. Banyak wilayah yang tidak mempunyai sanitasi dan air yang memadai, sekolah yang tidak layak, juga banyak masyarakat yang tidak mempunyai MCK yang memadai, akses jalan yang tidak bagus, akses informasi yang terbatas, dan pendidikan yang rendah. Kondisi inilah yang menjadi dasar kenapa masyarakat korban sangat rentan untuk “dipengaruhi” atau terpengaruh oleh budaya yang negatif dari luar yang dibawa oleh lembaga maupun para pekerja lembaga asing tersebut.
Di Aceh pasca trunami, dari sekian banyak LSM internasional yang terdaftar, mereka mempekerjakan sekitar 5.000 staff internasional (Carsten Volz, 23005). Dengan kehadiran staff internasional ini tentu banyak sekali pengaruh yang muncul, termasuk perubahan yang di alami oleh masyarakat Aceh. Seperti yang disampaikan oleh Tueku Kemal Fasya, di antara yang sulit dipahami tentang kinerja lembaga donor internasional di pusaran neo-globalisasi adalah gaya hidup dan lingkungan terhormat, dengan gaji tinggi dan kualitas perumahan yang tidak terbayangkan keborosannya bila dibandingkan standar masyarakat lokal (Fasya). Di samping itu, “proyak bencana tsunami” juga mengubah sosok Aceh mirip orang kaya mendadak. Jalan-jalan di kota banda Aceh dan lhokseumawse yang tadinya sepi kini macet oleh lalu lintas mobil pribadi, sepeda motor, becak bermesin, dan angkutan kota. Perubahan juga terjadi dalam gaya hidup masyarakat. Jika sebelum tsunami dimana-mana kaum pria mengenakan kopiah dan topi haji, kini sudah jarang terlihat. Dalam cita rasa makanan, ayam goreng di restoran A&W dan KFC dianggap lebih lezat dibandingkan bebek dan gulai kambing diwarung-warung yang makin sepi dan terpinggirkan (Maruli Tobing dan Mahdi Muhammad, 2007).
Jika kita berkunjung ke Aceh pasca tsunami, dengan mudah kita bisa melihat perubahan yang terjadi di warung kopi, sebelum tsunami orang Aceh membicarakan tentang kehidupan, situasi politik, isu dan perkembangan terkini. Namun pasca tsunami pembicaraan berubah menjadi proyek apa yang sedang ditangani, atau proyek mana yang bepotensi untuk dimenangi, diskusi soal rehabilitasi dan rekonstruksi juga kerapkali diselenggarakan di warung kopi, pertemuan antar pekerga NGO, atau hanya sekedar berkumpul dengan sesama pekerja NG pada saat sore hari setelah selesai bekerja. Selain itu, pada masa pasa tsunami banyak pula para peneliti dari berbagai belahan dunia melakukan penelitian di Aceh sehingga mereka juga biasannya melakukan wawancara dengan narasumber di warung kopi tersebut.
Pasca bencana, biasanya diikuti dengan terbukannya lapangan pekerjaan yang luas, kesempatan ini juga biasanya dimanfaatkan oleh orang-orang lokal merubah pekerjaannya menjadi kontrak atau menjadi salah satu saf NGO yang sedang bekerja di daerah tersebut, selain tersedianya pekerjaan yang luas gaji ang didapatkan juga biasanya lebih tinggi dari gaji ketika tidak ada bencana. Pendapatan yang tinggi ini kemudian diikuti dengan perubahan gaya hidup. Seperti yang disampaikan oleh Azhari; bahkan, sejumlah intelektual, budayawan, jurnalis, hingga seniman Aceh pun tak ketinggalan; banyak yang memilih banting setir menjadi pekerja rekonstruksi di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh Nias dan sejumlah NGO. “rekonstruksi fisik menyedot sumber daya manusia dan alam di Aceh (Azhari, 2007). Hal tersebut juga terjadi di Yogyakarta; gaya hidup para pekerja sosial ini menjadi fenomena tersendiri, agenda untuk berkumpul bersama sambil menyelenggarakan pesta kecil yang dibumbui dengan minuman berkadar alkohol seperti telah menjadi kebiasaan, memang hal ini biasa dilakukan di kampung halaman para pekerja sosial yang di impor dari berbagai belahan dunia (dian lesatari, 2007)
Dinamika atas hadirnya banyak pekerja asing di sebuah daerah bencana tentu sedkiti banyak akan berpengaruh pula kepada budaya masyarakat yang dibantu. Bagaimana tidak, di tengah masyarakat yang menjadi korban bencana, miskin, berpendidikan rendah, tidak mempunyai akses informasi yang memadai, harus mengahadapi para pekerja asing yang tentu juga membawa misi masing-masing dengan berbagai metode dan cara yang telah mereka tetapkan sebelumnya. Korban tidak berdaya untuk melakukan penolakan atas berbagai ajakan atau pengaruh tanpa adanya pengetahuan yang cukup.
Keabsahan Agama dan Materialisasi Kehidupan Religius
Pada saat tsumani terjadi di Aceh, banyak persoalan yang muncul sejalan denganmasuknya bantuan asing. Salah satu isu penting pada saat itu adalah kristenisasi, yang kemudian di lapangan banyak ditemukan bantuan yang memakai simbol-simbol kristen, seperti yang terjadi di beberapa kecamatan di kabupaten Aceh besar ditemukan buku Rahasia Doa-Doa Yang Dikabulkan, yang isinya bercerita tentang Tuhan Yesus Kristus. Bantuan dengan simbol kristen ini juga melalui distribusi obat-obatan, permainan anak-anak, dan juga melalui doa-doa pasca menerima bantuan yang diberikan lembaga asing tersebut (Tim Riset Modus Aceh). Seperti yang disampaikan oleh Teuku Muslim Ibrahim, yang secara sengaja melakukan upaya kristenisasi ini ada sekitar tiga LSM asing. Mereka juga sering mendongeng kepada anak-anak di barak. Mereka bertanya soal keberadaan Tuhan dan soal berapa jumlah Tuhan. Namun dari semua itu yang terparah adalah upaya cuci otak masyarakat ini, LSM-LSM asing ini juga sempat meminta dilibatkan dalam mengatur konsep pendidikan anak Aceh (Ibrahim, 2008). Buku rahasia doa-doa yang dikabulkan menyebutkan: “sebelum kita memanjatkan permohonan doa untuk kepentingan hidup kita, lebih dahulu diwajibkan kita mengucapkan syukur kepada-Nya karena rahmat dan ni’mat-Nya. Dan yang lebih penting lagi, kita memohon  pengampunan atas dosa-dosa kita melalui syafa’at Isa Al-Masih. Jadi, kalau kita berdoa dengan nama Sayyidina Isa Al-Masih, kalimatullah Al-Hayat (Firman Allah yang Hidup), dia berkenan menjadi pengantara bagi kita, dan memberi syafaat atas dosa-dosa kita di hadapan Allah yang Maha Adil” (hlm. 33-34). (voa-islam.com)
Selain di Aceh besari, bukti adanay upaya kristenisasi juga terjadi di Calang.
Aceh Jaya. Seperti yang disampaikan oleh Mujiyanto; merasa kaget ketika melihat banyak sekali buku-buku tentang yesus bertebatan di kapal motor verona yang dia tumpangi menuju Calang, Aceh Jaya (Mujiyanto, 2006). Lebih jauh Abdurrahman kaoy juga menambahkan bahwa; Aceh sudah menjadi target pemurtadan sejak puluhan tahun lalu. “aktivitas mereka sudah dimulai sejak tahun 1960-an, namun selalu galal,” ujarnya. Ia menyebut, para misionaris ini berencana mendirikan kerajaan Tuhan di tanah Aceh (Kaoy. 2006).
Kasus seperti di Aceh juga terjadi di Negeri Patamuan, Kecamatan Padang Alai, Kabupaten Padang Pariaman. Pada saat setelah gempa terjadi banyak lembaga yang masuk membantu meringankan penderitaan korban, pada saat inilah satu lembaga asing yang bernama Samaritan’s Puse International Relief membagikan komik dan kitab injil sembari juga mendistribusikan bantuak untuk para korban. Sebelum membagikan bantuan para pekerja Samarintan juga membagikan komik. Komik yang dibagikan masyarakat itu yang berjudul ‘Si Bodoh”. Yang berisi tentang siar agama Nasrani, salah satu petikan kalimat dari komik tersebub adalah ; “Amanat agung: kerena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan Baptislah mereka dalam nama Bapa dan anak roh kudus dan ajarilah meraka melakukan segala sesuatu yang telahku peringatkan kepadamu.” Buku ini telah disebar oleh warga asing itu ke warga Patamuan yang notabe 100 persen penduduknya beragama Islam. Pasca distrubusi para pekerja samaritan juga berpidato: “ beberapa dianara kami datang dari berbagai negara di seluruh dunia untuk menyebarkan agama Tuhan yaitu Yesus. Barang siapa yang percaya kepada-Nya, idak akan binasa dan akan memperoleh kehidupan yang kekal” (Posmetro Padang, 2009).
Selain di Patamuan, kasus yang sama juga terjadi di Korong Koto Tinggi, Kecamatan V Koto Timur, Kabupaten Pdang Pariaman, seperti yang disampaikan oleh Muslin Nur; beberapa modus kristenisasi yang yang dilakukan selain membagi Alkitab, yakni membangun ikatan emosional dengan masyarakat melalui bantruan logistik, obat-obatan maupun perencanaan bangunan rumah tempat tingagl, mendekati warga secara individu lalu mengajak doa bersama kemudian diberi uang sebesar Rp.10 ribu-Rp.100 ribu, melalui hipnotis kemudian dibaptis, memberikan suntikan kepada anak-anak yang tidak sakit secara paksa ditempat yang sepi, memprovokasi anak-anak yang tidak shalat magrib dengan memberikan 5 buah coklat yang shalat magrib diberi 1 coklat (Nur, 2009). Jauh sebelum kejadian di Padang, Samarintan’s Purse International Relief sebenarnya sudah dilarang beroperasi di Sumatera Utara. Seperti yang disampaikan oleh H. Raden Muhammad Syafi’i  menyatakan bahawa: meneri sosial H bahchtiar chamsyah menginstruksikan agar LSM Samaritans Purse tidak lagi beroperasi di Sumut, karena “Bantuan LSM asing sebenarnya sudah tidak murni lagi untuk kemanusiaan. Sudah ada misi terselubung yang ingin mengganti akidah seseorang.” (Syafi’i, 2006).
Jika kejadian dan tindakan seperti di atas terus terjadi di wilayah indonesia yang terkena bencana, niscaya tidak menutup kemungkinan akan terjadi perpindahan agama. Paling tidak, tindakan yang di sosialisasikan dengan mengambil kesempatan pada saat bencana akan memunculkan suatu gugatan terhadap keabsahan suatu agama yang telah dianut seseorang, apalagi jika daerah tersebut sangat miskin dan penduduknya berpendidikan rendah.
Ancaman lain yang muncul sejalan dengan interaksi melalui para pihak internasional adalah meluasnya materialisme kehidupan masyarakat pasca bencana. Biasanya setelah bencana harga komoditas langsung melonjak. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh minimnya ketersediaan bahan pokok, namun juga meningkatanya kebutuhan dan minimnya ketersediaan bahan, harga sewa rumah juga meningkat drastis. Seperti di Banda Aceh, dengan alasan inflasi tinggi maka sewa rumah bisa mencapai 1-2 miliar lebih, atau sewa kamar di Banda Aceh sebelum tsunami hanya berkisar 3-4 juta per buan kemudian meningkat menjadi 10 juta perbulan (Nur Raihan-detikNews, 2006). Beberapa kebutuhan hidup juga meningkat, pola konsumsi juga menunjukan hal yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Maruli Tobing dan Mahdi Muhammad (2007), konsumtivisme muncul sebagai bentuk gaya hidup baru seiring dengan derasnya modal yang masuk. Rasa sepenanggungan dan indentitas Aceh yang dahulu menjadi sumber kekuatan dan tekad melawan kezaliman sekarang dianggap rongsokan. Spritualitas masyarakat mengalami pengikisan secara mendasar.
Nilai-nilai komunalisme yang terdapat di dalam masyarakat Aceh juga relatif hilang pasca tsunami. Dalam istilah Yusuf Wibisono (2009), masyarakat menjadi hedonis-materialistis, tidak lagi mau bekerja jika tidak dibayar, tidak lagi mau bergotong royong membersihkan lingkungannya sendiri. Namun demikian, perlu dikaji secara seksama bahwa hal ini menjadi akibat dimanjakannya para korban dengan program-program yang ditawarkan oleh berbagai lembaga asing. Salah satunya adalah program cash for work. Pada saat itu sangat banyak lembaga bantuan internasional yang melakukan program tersebut degnanb erbagi ragam kompetisi harga, mulai dari 35 ribu sampai 100 ribu. Tindakan ini yang membuat masyarakat terbiasa dengan pola bekerja di lokasi sendiri dan dibayar.
Program cash for work cenderung tidak terkendali dan meluas sampai hal-hal yang tidak perlu. Seringkali program ini menjadi “tujuan” bagi perencana dan pelaksana program serta lebih terkesan berorientasi menghabiskan dana daripada melakukan program yang sesungguhnya. Hal ini masih diperparah oleh pemerintah yang terkesan membiarkan kegiatan seperti ini berlangsung tanpa kontrol, karena memang permerintah juga belum mempunyai kesiapan dalam menghadapi hal-hal seperti ini, sehingga pemerintah lebih berperan sebagai pembari bantuan sematan. Seperti yang disampaikan oleh Imam Prasojo melalui tulisan Icha Rastika (2009); selama pemerintah lebih berperan sebagai pemberi bantuan. Akibatnya, sikap warga yang cenderung mengandalkan bantuan tanpa bisa mengubah tabiat diri sendiri sudah terlembagakan.
Pergeseran nila dalam kasus Aceh tentu tidak hanya disebbkan oleh tsunami saja. Aceh punya catatan dan cerita tersendiri soal ini, karena du luar tsunami masih ada konflik yang terjadi selama kurang lebih dua puluh delapan tahun sebelumnya. Setidakya ada tiga hal pokok yang menjadi penyebabnya. Pertama, orang Aceh bergerak dari masyarakat yang menetap ke berpindah akibat situasi sisial yang menekan dan mengharuskan mereka untuk berpindah. Kedua, sifat dan kedudukan orang Aceh antara “ada” dan “tiada” yang terjadi akibat situasi yang represif dalam kehidupan bermasyarakat. Tertekan keamanan dan usaha kelangsuang hidup telah menyebabkan motilitas yang tinggi dan tidak menetap. Ketiga, kebingungan yang meluas tentang ekspresi keacehan dan keindonesiaan (Abdullah, 2006). Dengan demikian, seting bencana dan respon terhadap bencana harus pula dilihat dalam perspektif yang lebih luas, menyangkut tekanan struktural dan kultural yang secara histories dialami Aceh.
Kesimpulan
Jika kondisi seperti yang telah disebutkan di atas terus dibiarkan, maka hal ini bisa menjadi persoalan dan ancaman tersendiri bagi masyarakat yang menjadi korban bencana di Indonesia. Untuk itu diperlukan sebuah penanganan atau antisipasi terhadap segala kemungkinan negatif yang mungkin saja timbul akibat dari banyakknay bantuan yang masuk ke sebuah wilayah bencana yang dibawea oleh lembaga-lembaga internasional yang berafiliasi kepada agama-agama tertentu.
Penguatan pengetahuan masyarakat terhadap agama, nilai-nilai kebudayaan lokal, serta penguatan ekonomi harus terus ditingkatkan di wilayah yang rentan dan berpotensi bencana, terutama di indonesia yang mayoritasnya penduduknya beragama islam. Sudah seharusnyalah lembaga-lembaga besar islam seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama melakukan kerja-kerja kemanusiaan di wilayah bencana tidak hanya sekedar di wilyah yang menjadi basis utama lembaganya saja. Selain itu, memanfaatkan sumber daya yang ada juga bisa menjadi salah satu cara untuk mengurangi dampak masuknya pengaruh negatif dari  luar daerah tersebut, misalnya dengan memaksimalkan zakat atau sedekah dari umat muslim. Seperti yang disampaikan oleh Yusuf Wibisono (2009) penggunaan zakat sejalan dengan tujuan zakat dalam hal pengentasa masyarakat miskin melalui saluran penciptaan lapangan kerja, sangan perlu dilakukan dalam rangka peningkatan ketahanan sosial.
Koran Kompas dalam Opininya (2005) juga menyampaikan bahwa; kepedulian diseluruh masyarakat dunia itu tentunya juga harus dikelola secara baik. Sikap spontan yang diperlihatkan para relawan untuk membantu sesamanya yang sedang dalam penderitaan harus memberi manfaat yang optimal. Jangan sekedar ramai-ramai, ibaratnya semuat turun ke lapangan, tetapi yang kemudian tercipta adalan kesemrawutan. Sebab, jangan sampai maksudnya membantu, tetapi yang terjadi sebuah “bencana” baru.
Kerja sama yang sinergi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok sipi juga diperlukan untuk membendung hal-hal negatif pasca bencana. Demikian pula dibutuhkan sebuah mekanisme check and balance, agar pemerintah dan kolompok sipil bisa saling mengingatkan dan saling membantu. Jika peduli kemanusiaan dapat menjadi problema, maka ia bisa melahirkan bencna baru bagi korban bencana alam. Kepedulian murni tanpa pamrih dan tidak berpamrih dalam praktiknya menjadi sngat sulit dibedakan. Dalam wacana, semua menghadirkan diri bak seorang Nabi yang datang sebagai penyelamat akan tetapi dalam realitas banyak menunjukan pertarungan diri sendiri (Susetiwan, 2007). Korban bencana, karenanya, harus didampingi secara kelembagaan gar mereka tidak mengalami korban dua kali akibat kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan dengan ideologi kemanusiaan.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2006a. “Dialektika Natur, Kultur dan Struktur Analisis Konteks, Proses dan Ranah dalam Kontruksi Bencana”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Antropologi pada Fakultas Ilmu Dudaya Universitas Gadjah Mada
…………, 2006b,. Realitas Politik, Deteritorialisasi Sosial, dan Redefenisi Penelitian-Penelitian Budaya: Aceh Sebagai Field of Study. Dalam; Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Pustaka Pelajar Yogyakarta (Hlm: 126-127).
Azhari., 2007. Dari ule kareng untuk dunia [internet]. Melalui: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0706/14/humaniora/3601181.htm [Diakses 20 Desember 2009]
Badan nasional penanggulangan bencana, 2009. Korba gempa jabar memperoleh jatah hidup. BNP [internet]. Melalui: http://bnpb.go.id/website/index.php?option=comcontent&task=view&id=2503&ltemid=120 [Diakses 30 Desember 2009]
Fasya, Teuku kemal. Moral bantuan di tanah tsunami. [internet], melalui: http://kompas.com/kompas-cetak/0707/03/opini/3647891.htm [Diakses 19 Desember 2009]
Hancock, Graham. 2005 “Dewa-DewaPencipta Kemiskinan, Kekuasaan, Prestise, dan Korupsi Bisnis Bantuan Internasional. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta.
Ibrahim, Teuku Muslim., 2008. Umat Muslim Harus Membantu [internet]. Dalam; republika news room; http://epaper.repubika.co.id/berita/21395/teuku_ibrahim_umat_muslim_harus_membantu [Diakses 21 Desember 2009]
Islam, Voa., 2009. Misi Menjelang Natal Kristenkan Muslim Dengan Tipuan “Doa Makbul” [internet] melalui: http://www.voa-islam.net/news/indonesia/2009/12/12/2051/kristenisasi-jelang-natalpenginjil-tipu-muslim-dengan-buku-doa-makbul/
Kaoy, Abdurrahman & Mujiyanto., 2006. Gerilya Misi Kristenisasi di Serambi Mekkah Aceh. [internet] dalam: http://muallaf.com/islam-is-not-the-enemy/islamphobia/253-gerilya-misi-kristenisasi-di-serambi-mekkah-aceh [Diakses 24 Desember 2009]
Kementerian Negara Perencaan Pembangunan Nasional/Badan Pembangunan Nasional. Rencana Aksi, Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana Gempa Bumi di Provinsi Sumatera Barat 2009-2011)
Kompas., 2005 Jangan Curiga Justru Berterima Kasih. [internet]. Melalui: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0501/10/opini/1488489.htm [Diakses 24 Desember 2009]
Lestari, Dian., 2007. Elegi Seorang PSK. Dalam; Kisak Kisruh Ditanah Gempa, Catatan Penganan Bencana Gempa Bumi Di Yogya-Jateng 27 Mei 2006. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta (Hlm:157)
Masruri, Siswanto, 2005. Humanitarianisme Soejatmoko, visi kemanusiaan Kontemporer. Pilar humanika, Yogyakarta.
Nur, Muslim., 2009. Misionaris Berbaju LSm Diusir Warga. [internet] dalam: http://viewislam.wordpress.com/2009/11/04/misionaris-berbaju-lsm-diusir-warga/ [Diakses 20 Desember 2009]
Project, the Sphere. 2009., Piagam Kemanusiaan Dan Standar Minimum Dalam Respon Bencana. Grasindo Jakarta. (Hlm:2)
Volz, Carsten., 2005. Tsunami: belajar dari respons kemanusiaan. Edisi khusus, Forced Migration Review. (Hlm:25-27)
Susetiawan., 2007. Bencana Dalam Bencana. Kata Pengantar dalam; Kisah-Kisruh di Tanah Gempa Catatan Penganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006. Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta (xv)