Rabu, 07 Agustus 2013




Oleh : Ade Akhmad Ilyasa' dan Muhammad Nasrullah 

Sebagaimana Provinsi lain di Indonesia, pemerintah Aceh tampaknya harus terus bergulat untuk memperbaiki pengelolaan sumberdaya hutan yang kemampuannya terus menurun. Terlepas dari upaya-upaya yang telah dan akan dilakukan, Aceh masih menghadapi masalah-masalah nyata menyangkut ekosistem hutan primer dan sekunder yang berada di bawah ancaman luar biasa baik oleh industri-industri besar, para pengusaha kayu, para mafia dan oknum pembalakan kayu maupun berbagai ulah sebagian kecil masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan.
Secara ekologis, hutan Aceh mempunyai keanekaragaman ekosistem yang sangat kaya dengan berbagai keanekaragaman hayati yang yang dapat ditemui di Taman Nasional Gunung Leuser. Dengan kondisi ini Taman Nasional Gunung Leuser ditetapkan oleh UNESCO sebagai World Heritage. Selain Gunung Leuser, semua kawasan lindung di Aceh dan hutan Aceh pada umumnya menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat kaya, baik tumbuhan maupun hewan. Di samping itu, hutan Aceh khususnya kawasan ekosistem Leuser diyakini menjadi areal penyerapan debu dan karbon yang cukup besar sehingga keberadaannya sangat berkontribusi dalam mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim. (Saodah Lubis, 2006).
Implikasi penting bagi pelestarian hutan Aceh saat ini adalah pergeseran alasan pengundulan hutan akibat alasan kemiskinan ke alasan perusahaan. Modus dari perusakan hutan di era ini akan berubah. Orang-orang miskin di desa tidak lagi dominan sebagai pelaku perusakan hutan, pengundulan hutan secara substansial digerakkan oleh industri-industri besar dan globalisasi ekonomi, melalui penambangan timah hitam, bijih besi, emas, kapur dan bahan baku semen, dan eksploitasi mencari material-material bernilai tinggi lainnya yang menjadi sebab-sebab mengerikan dari hancurnya hutan Aceh. (Afrizal Akmal, 2009).
Laporan terakhir yang disampaikan oleh Yayasan Leuser Internasional menyebutkan bahwa hasil perhitungan dan kajian berdasarkan analisis Sistem Informasi Geografis Citra Landsat ETM+ tahun 2006-2009 menunjukkan bahwa kerusakan hutan Aceh mencapai sekitar 92.600 ha, di mana 34 persennya atau 31.280 berada pada kawasan hutan lindung, meskipun kemudian dibantah bahwa kerusakan bukan berada pada kawasan hutan lindung, melainkan pada kawasan hutan dengan alasan yang tidak begitu jelas (Serambi Indonesia, 18/02/2011 dan 19/02/2011).
Jika ditarik lebih jauh, kebijakan moratorium logging diambil karena hutan Aceh berada pada posisi yang cukup memprihatinkan, setiap harinya kita kehilangan hutan dua kali lipat luas lapangan sepakbola atau setara 20.796 per tahunnya, laju kerusakan ini salah satunya dipicu oleh aktivitas illegal logging yang terus terjadi, tahun 2006 tertangkap 120.209,50 meter kubik kayu sitaan dari hasil illegal logging, angka ini mengalami kenaikan empat kali lipat dari tahun sebelumnya sekitar 33.249,25 meter kubik. Padahal angka kayu sitaan tersebut jika ditaksir hanya sekitar 2% dari total tebangan ilegal yang terjadi di hutan Aceh. Kerusakan hutan akan menimbulkan multiplier effect, salah satunya adalah bencana banjir dan tanah longsor, lihat saja angka statistik kerugian akibat banjir dan longsor. Jumlah kejadian atau intensitas banjir juga mengalami kenaikan dari tahun 2005, yaitu dari 30 kejadian menjadi 39 kejadian pada tahun 2006, atau rata-rata tiap bulannya terjadi 3-4 kali bencana banjir dan longsor.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, dampak kerugian banjir dan longsor cukup menguras Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Aceh (APBA), banjir pada tahun 1996 menimbulkan kerugian Rp 174 miliar, tahun 2000 kerugian akibat banjir menembus angka Rp 800 miliar, dan tahun 2006 banjir tamiang menyebabkan kerugian Rp 2 triliun, jika dibandingkan dengan pendapatan akumulasi dari sektor kehutanan terhadap PDRB Aceh selama tahun 1993-2001 hanya sekitar Rp 362 milyar atau rata-rata sekitar Rp 45 miliar per tahun. Anggaran APBA tahun 2007 sebesar kurang lebih Rp 19 triliun, termasuk anggaran rekonstruksi Rp 9,7 triliun, maka anggaran bersih yang diterima Pemerintah Aceh kurang lebih Rp 10 triliun, jika kemudian harus menutupi tekor banjir tamiang Rp 2 triliun, artinya 20% anggaran Aceh tahun 2007 praktis hanya digunakan untuk recovery banjir dan longsor.
Berbagai organisasi melaporkan kejadian penebangan liar, tetapi sebagian besar dari mereka tidak punya kemampuan untuk mengambil tindakan nyata. Berbagai workshop telah diadakan oleh berbagai lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat lokal maupun lembaga-lembaga pemerintah untuk membahas isu ini dan menyusun paper rencana tindakan serta usulan kebijakan. Kondisi lingkungan hidup sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan dengan kecenderungan yang terus menurun, ini merupakan tantangan serius yang sedang dihadapi dunia.
Penyebab utamanya adalah, karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan. Hal ini terjadi mengingat kelemahan kekuatan politik dari pihak-pihak yang menyadari pentingnya pengelolaan lingkungan hidup. Perjuangan untuk melestarikan lingkungan pun hanya didukung sekelompok kecil kelas menengah yang kurang mempunyai kekuatan politik dalam pengambilan keputusan. Seperti kelompok-kelompok peduli lingkungan, organisasi non-pemerintah, individu yang aktif dalam pelestarian lingkungan dan kritis terhadap kebijakan- kebijakan yang merugikan lingkungan, serta kalangan akademisi.
Semestinya, pelestarian lingkungan perlu mendapat dukungan dari kekuatan-kekuatan politik primer. Pemerintah perlu memiliki kemampuan ketataprajaan di bidang lingkungan hidup (good environmental governance), agar mampu menjawab tantangan dari masyarakat yang sudah diberdayakan. Kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan lingkungan hidup telah digulirkan, misalnya program untuk mitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan melalui skema Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan (REDD). Ini pun masih harus ditelaah kembali, apakah mampu memberikan dampak positif bagi masyakat dan lingkungan itu sendiri. Untuk itu pemerintah Aceh perlu segera mengevaluasi serta merumuskan ulang berbagai strategi dan kebijakan terkait perlindungan dan penyelamatan hutan Aceh, sehingga benar-benar dapat dimplementasikan secara baik dan nyata. Semoga cita-cita pemerintah Aceh dan kita semua untuk mewujudkan hutan lestari yang menyejahterakan masyarakat bukan hanya sekadar bualan dan mimpi indah bagai lantunan puisi indah tanpa makna, hilang tak berbekas di telan wacana hiruk pikuk PILKADASUNG yang penuh tolak tarik kepentingan politik kekuasaan belaka.

0 komentar :

Posting Komentar