Oleh : Ade Akhmad Ilyasa' dan Muhammad Nasrullah
Sebagaimana
Provinsi lain di Indonesia, pemerintah Aceh tampaknya harus terus bergulat
untuk memperbaiki pengelolaan sumberdaya hutan yang kemampuannya terus menurun.
Terlepas dari upaya-upaya yang telah dan akan dilakukan, Aceh masih menghadapi
masalah-masalah nyata menyangkut ekosistem hutan primer dan sekunder yang
berada di bawah ancaman luar biasa baik oleh industri-industri besar, para
pengusaha kayu, para mafia dan oknum pembalakan kayu maupun berbagai ulah
sebagian kecil masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan.
Secara
ekologis, hutan Aceh mempunyai keanekaragaman ekosistem yang sangat kaya dengan
berbagai keanekaragaman hayati yang yang dapat ditemui di Taman Nasional Gunung
Leuser. Dengan kondisi ini Taman Nasional Gunung Leuser ditetapkan oleh UNESCO
sebagai World Heritage. Selain Gunung Leuser, semua kawasan lindung di Aceh dan
hutan Aceh pada umumnya menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat kaya, baik
tumbuhan maupun hewan. Di samping itu, hutan Aceh khususnya kawasan ekosistem
Leuser diyakini menjadi areal penyerapan debu dan karbon yang cukup besar
sehingga keberadaannya sangat berkontribusi dalam mengurangi dampak pemanasan
global dan perubahan iklim. (Saodah Lubis, 2006).
Implikasi
penting bagi pelestarian hutan Aceh saat ini adalah pergeseran alasan
pengundulan hutan akibat alasan kemiskinan ke alasan perusahaan. Modus dari
perusakan hutan di era ini akan berubah. Orang-orang miskin di desa tidak lagi
dominan sebagai pelaku perusakan hutan, pengundulan hutan secara substansial
digerakkan oleh industri-industri besar dan globalisasi ekonomi, melalui
penambangan timah hitam, bijih besi, emas, kapur dan bahan baku semen, dan
eksploitasi mencari material-material bernilai tinggi lainnya yang menjadi
sebab-sebab mengerikan dari hancurnya hutan Aceh. (Afrizal Akmal, 2009).
Laporan
terakhir yang disampaikan oleh Yayasan Leuser Internasional menyebutkan bahwa
hasil perhitungan dan kajian berdasarkan analisis Sistem Informasi Geografis
Citra Landsat ETM+ tahun 2006-2009 menunjukkan bahwa kerusakan hutan Aceh
mencapai sekitar 92.600 ha, di mana 34 persennya atau 31.280 berada pada
kawasan hutan lindung, meskipun kemudian dibantah bahwa kerusakan bukan berada
pada kawasan hutan lindung, melainkan pada kawasan hutan dengan alasan yang
tidak begitu jelas (Serambi Indonesia, 18/02/2011 dan 19/02/2011).
Jika
ditarik lebih jauh, kebijakan moratorium logging diambil karena hutan Aceh
berada pada posisi yang cukup memprihatinkan, setiap harinya kita kehilangan
hutan dua kali lipat luas lapangan sepakbola atau setara 20.796 per tahunnya,
laju kerusakan ini salah satunya dipicu oleh aktivitas illegal logging yang
terus terjadi, tahun 2006 tertangkap 120.209,50 meter kubik kayu sitaan dari
hasil illegal logging, angka ini mengalami kenaikan empat kali lipat dari tahun
sebelumnya sekitar 33.249,25 meter kubik. Padahal angka kayu sitaan tersebut
jika ditaksir hanya sekitar 2% dari total tebangan ilegal yang terjadi di hutan
Aceh. Kerusakan hutan akan menimbulkan multiplier effect, salah satunya adalah
bencana banjir dan tanah longsor, lihat saja angka statistik kerugian akibat
banjir dan longsor. Jumlah kejadian atau intensitas banjir juga mengalami
kenaikan dari tahun 2005, yaitu dari 30 kejadian menjadi 39 kejadian pada tahun
2006, atau rata-rata tiap bulannya terjadi 3-4 kali bencana banjir dan longsor.
Dalam
kurun waktu 10 tahun terakhir, dampak kerugian banjir dan longsor cukup
menguras Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Aceh (APBA), banjir pada tahun 1996
menimbulkan kerugian Rp 174 miliar, tahun 2000 kerugian akibat banjir menembus
angka Rp 800 miliar, dan tahun 2006 banjir tamiang menyebabkan kerugian Rp 2
triliun, jika dibandingkan dengan pendapatan akumulasi dari sektor kehutanan
terhadap PDRB Aceh selama tahun 1993-2001 hanya sekitar Rp 362 milyar atau
rata-rata sekitar Rp 45 miliar per tahun. Anggaran APBA tahun 2007 sebesar
kurang lebih Rp 19 triliun, termasuk anggaran rekonstruksi Rp 9,7 triliun, maka
anggaran bersih yang diterima Pemerintah Aceh kurang lebih Rp 10 triliun, jika
kemudian harus menutupi tekor banjir tamiang Rp 2 triliun, artinya 20% anggaran
Aceh tahun 2007 praktis hanya digunakan untuk recovery banjir dan longsor.
Berbagai
organisasi melaporkan kejadian penebangan liar, tetapi sebagian besar dari
mereka tidak punya kemampuan untuk mengambil tindakan nyata. Berbagai workshop
telah diadakan oleh berbagai lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat lokal
maupun lembaga-lembaga pemerintah untuk membahas isu ini dan menyusun paper
rencana tindakan serta usulan kebijakan. Kondisi lingkungan hidup sudah
mencapai tingkat yang memprihatinkan dengan kecenderungan yang terus menurun,
ini merupakan tantangan serius yang sedang dihadapi dunia.
Penyebab
utamanya adalah, karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan
pelestarian sering diabaikan. Hal ini terjadi mengingat kelemahan kekuatan
politik dari pihak-pihak yang menyadari pentingnya pengelolaan lingkungan
hidup. Perjuangan untuk melestarikan lingkungan pun hanya didukung sekelompok
kecil kelas menengah yang kurang mempunyai kekuatan politik dalam pengambilan
keputusan. Seperti kelompok-kelompok peduli lingkungan, organisasi
non-pemerintah, individu yang aktif dalam pelestarian lingkungan dan kritis terhadap
kebijakan- kebijakan yang merugikan lingkungan, serta kalangan akademisi.
Semestinya,
pelestarian lingkungan perlu mendapat dukungan dari kekuatan-kekuatan politik
primer. Pemerintah perlu memiliki kemampuan ketataprajaan di bidang lingkungan
hidup (good environmental governance),
agar mampu menjawab tantangan dari masyarakat yang sudah diberdayakan.
Kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan lingkungan hidup telah digulirkan,
misalnya program untuk mitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan melalui skema Reduksi Emisi dari Deforestasi
dan Degradasi hutan (REDD). Ini pun masih harus ditelaah kembali, apakah mampu
memberikan dampak positif bagi masyakat dan lingkungan itu sendiri. Untuk itu
pemerintah Aceh perlu segera mengevaluasi serta merumuskan ulang berbagai
strategi dan kebijakan terkait perlindungan dan penyelamatan hutan Aceh,
sehingga benar-benar dapat dimplementasikan secara baik dan nyata. Semoga
cita-cita pemerintah Aceh dan kita semua untuk mewujudkan hutan lestari yang
menyejahterakan masyarakat bukan hanya sekadar bualan dan mimpi indah bagai
lantunan puisi indah tanpa makna, hilang tak berbekas di telan wacana hiruk
pikuk PILKADASUNG yang penuh tolak tarik kepentingan politik kekuasaan belaka.
0 komentar :
Posting Komentar